Friday, September 28, 2012

30 Detik yang Abadi.

Courtesy: www.thirtysecondstomars.com
Rasanya merinding setiap saya memutar kembali memori tanggal 22 Juli 2012 di Pantai Karnaval Ancol pada saat itu. Pertama kalinya saya menyaksikan secara langsung penampilan 30 Seconds To Mars di atas panggung Indonesia. Dan menurut saya, inilah salah satu kenangan konser terbaik yang saya miliki.

Saya bukan penggemar berat musik rock/alternative rock/progressive rock atau apalah itu yang mereka sebut genre dari lagu-lagu 30 Seconds To Mars. Sedikit sekali jenis musik seperti ini yang bisa bersahabat dengan telinga saya. Tetapi saat masih duduk di bangku SMP, pertama kalinya saya melihat video klip lagu yang termasuk membuat besar nama mereka, “The Kill”, saat itu juga saya langsung jatuh cinta dengan mereka. Bukan karena tampan wajah dari sang vokalis, Jared Leto (karena banyak sekali wanita kepincut dengan band ini dikarenakan alasan fisik sang vokalis). Tetapi lebih karena musik dan video mereka, yang entah kenapa selalu membawa suatu semangat tersendiri buat saya. Mungkin karena dulu saya masih agak-agak “emo” kali ya. Ehehehe.

Sejak saat itulah saya mulai menekuni lagu-lagu band yang sekarang beranggotakan tiga orang ini.

Dan ketika mengetahui bahwa mereka adalah salah satu line-up besar di Java Rockin’Land 2011, rasanya nafas saya habis selama 30 detik itu juga. Saya harus nonton, pikir saya waktu itu. Mau bagaimanapun caranya, saya harus nonton.

Apapun saya korbankanlah waktu itu. Uang yang pas-pasan dimana anak baru lulus sekolah ga pegang uang banyak dan akhirnya saya habiskan untuk membeli tiket, juga merelakan gaji dipotong demi mendapat izin tidak masuk kantor dikarenakan saat itu belum dapat jatah cuti karena baru 2 bulan bekerja. Banyak yang bilang saya bodoh dan buang-buang uang pada saat itu. Tapi, peduli apalah. Kita tidak pernah tahu kan apakah nantinya ada kesempatan kedua yang datang. Saya tidak mau menyesal nantinya karena tidak bisa nonton musisi kesukaan saya seumur hidup.

Lagipula, it is all worth it for music. (Prinsip aneh buatan sendiri yang masih saya pegang teguh sampai saat ini).

Dan benar, saya tidak menyesal sama sekali mengorbankan ini itu untuk menonton mereka.
Jared Leto, Shannon Leto, dan Tomo Milicevic benar-benar tampil sangat maksimal dan memuaskan pada malam itu. Bulu kuduk saya otomatis berdiri sewaktu lighting panggung dimatikan lalu lagu pertama yang menjadi intro konser pada malam itu, “Escape” mulai berkumandang. Highlight of that moment: waktu semua penonton serentak bernyanyi pada bagian lirik “THIS IS WAAAARRRR!” sambil mengepalkan tangan ke atas. Gila. Parah. Merinding. Saya sampai ga tahu lagi mau nulis apa buat menunjukkan bagaimana perasaan saya pada saat itu. Ini baru lagu pertama lho.

Belum selesai saya dibuat merinding, saya langsung mendengar suara musik yang sangat familiar di kuping saya. Sesaat itu juga gebukan drum yang sudah saya hapal sekali mulai menggebrak masuk. Ya, lagu kedua, “A Beautiful Lie”. Koor penonton pun membahana sepanjang lagu. Tampilan music video lagu tersebut di layar panggung, yang diambil di daerah Arctic (kalau ga salah) juga menambah indah situasi saat itu.

Satu kesimpulan yang sudah bisa saya ambil pada saat itu: musik mereka ga jauh beda dengan dari yang di dalam recording. Bahkan jauh lebih baik. Terutama Jared Leto, kekuatan suaranya benar-benar memukau saya.

Lagu-lagu berikutnya pun digeber secara kencang oleh trio ini. “Attack”, “Search and Destroy”, semua orang ikut bernyanyi sepanjang lagu-lagu tersebut. Ah ya, dan di lagu “Search and Destroy”, Jared memberhentikan lagu di tengah dan menunjuk satu penonton untuk naik ke atas panggung. Lucunya, naik satu perempuan yang sepertinya bukan orang yang ditunjuk. Dan respon Jared adalah, “No. Get the fuck out there”. Hahaha! Inilah, Jared Leto yang dikenal ‘galak’! Barulah setelah itu naik orang yang benar. Ia diminta untuk berteriak menyapa “Hello Indonesia!!!”. Setelah itu barulah lagu dilanjutkan kembali hingga selesai dengan klimaks.

Daaann…berkumandanglah track favorit saya di album terakhir mereka. “This is War”, yang (untungnya) tetap digabungkan dengan “100 Suns”, sama persis dengan yang ada di dalam album.

”A warning to the people,
The good and the evil,
This is war.”

“I believe in nothing
Not the end and not the start
I believe in nothing
Not the earth and not the stars..”

Bagi saya, lirik kedua lagu tersebut seperti mempunyai arti tersendiri. Seperti sama-sama mengajak kita untuk berhati-hati dan berperang dalam hidup sendiri, baik untuk kita orang yang (merasa) baik, ataupun jahat. Eh tapi, itu menurut saya sih.
Baru saja dibuat merenung sedikit di karya ‘seratus matahari’, penonton langsung digeber kembali dengan salah satu anthem dari album This Is War mereka, yaitu “Vox Populi”. Lagu yang pada aslinya merupakan kerja sama antara Echelon (sebutan pecinta 30 Seconds To Mars) dengan sang band pun, berhasil membuat koor penonton kembali membahana, mengisi bagian para Echelon terpilih. “This is a call to arms! Gather soldiers! Time to go to war!”. Asli, saya berasa diajak ikut perang saat itu juga pada saat semua bernyanyi bersama. Dan seperti biasa, bulu kuduk berdiri,

Lagu pengantar perang pun selesai. Seluruh personil masuk ke backstage, meninggalkan sang drummer yakni Shannon Leto sendiri di atas panggung. Ia mengambil gitar, lalu memainkan musikal ”L490” dengan indah. Kali ini saya memejamkan mata untuk menikmati apa yang ada. Saat itu juga, saya merasa sangat syahdu. Pengalaman ini terlalu indah untuk dirasa.

Masih ingin memanjakan para penggemar, Jared pun muncul dan mengambil gitar menggantikan posisi sang kakak. Dengan menyenangkan ia berturut-turut membawakan ”From Yesterday”, ”Alibi”, dan ”The Kill” secara akustik. Saya yang kebetulan berdiri di tengah depan pagar pembatas panggung pas di depan Jared, dengan lelah menyandarkan tangan dan kepala saya di pagar sambil menikmati suara indah Jared di depan muka saya.

Saya perlu bilang lagi ga, kalau koor penonton juga membahana di 3 lagu akustik tersebut?

Dan saya menyempatkan diri memperhatikan keadaan sekitar mumpung lagu yang dibawakan lagi tenang. Lihat ke kiri, belakang, kanan...

Astaga.
Lautan manusia.
Baru kali ini melihat penonton sebanyak itu.
Seperti biasa, saya merinding.

Untungnya pentas akustik ini segera selesai, karena badan saya yang sebenarnya sudah kelewat lemas dan lelah dikarenakan digencet sana-sini sama banyak orang, butuh bergerak-loncat-jejingkrakan lebih banyak agar rasa lelah tidak terlalu dirasa.

”Hurricane” pun lalu digempur oleh ketiga-manusia-yang-sudah-berumur-tapi-tetap-energik ini. Dan dilanjutkan oleh ”Closer To The Edge” yang asli, keren parah. Jared Leto muncul dengan memakai bendera merah-putih yang besar. Berlari dari ujung panggung ke ujung lainnya dengan bendera Indonesia di pundaknya. Entah kenapa hati saya berdesir melihatnya. Terselip rasa haru dan bangga tersendiri melihat musisi kesayangan kalian menaruh respek terhadap negara kalian. Di lagu ini pun Jared kembali mengajak salah satu penonton lelaki untuk naik ke atas panggung dan bernyanyi bersama. ”Closer to the edge... NO! NO! NO! NO!” terus diulang berkali-kali walaupun alat musik sudah berhenti dimainkan. Bayangkan sajalah, kamu dan ribuan orang bernyanyi—berteriak di tempat yang sama sambil mengepalkan tangan kencang-kencang ke langit. Bahagia membuncah di dada rasanya. Ini serius, ga berlebihan.

Seperti tidak rela saat lagu tersebut selesai. Mau mengulang kembali rasanya bernyanyi seperti itu.

Setelah itu, ketiga personil ini masuklah ke backstage. Dan setiap orang otomatis langsung panik dan lalu berteriak meminta encore. ”We want more!! We want more!!!!”. Saya yang sudah yakin mereka pasti kembali lagi ke atas panggung, diam saja menunggu saat itu tiba.

Dan benar saja, dengan serentak mereka kembali ke atas panggung.

Jared yang lalu kembali menyapa para penggemarnya, dan melihat ke sekeliling. Saya perhatikan, para crew pun juga sibuk seperti memilah-milah sesuatu. Saya langsung ngeh pada saat itu. Ah, ini pasti mereka lagi memilih segerombolan orang-orang yang akan naik ke atas panggung! Saya juga sudah bisa menebak lagu apa yang akan menjadi encore mereka. Penonton yang juga sudah ngeh akan situasi, mulai membuas pada saat itu juga. Semua orang berebutan memanjat pagar pembatas untuk bisa naik ke atas panggung. Dan saya pun ikutan menjadi buas berusaha keluar dari pembatas untuk mencapai panggung. Serius, keadaan waktu itu rusuh kebangetan.

Namun, usaha orang tekun memang selalu akan membawa hasil.
Iya, saya berhasil berdiri di atas panggung bersama musisi-musisi kesayangan saya yang bergabung dalam satu, 30 Seconds To Mars!!
Itu rasanya mau teriak kegirangan pada saat itu juga. Saya yang kemarin hanya bisa berandai-andai bisa seperti ini setiap menonton video rekaman konser mereka, akhirnya bisa berdiri di atas media yang sama dengan Jared, Shannon, Tomo.

Gila, mimpi apa saya semalam?

”This next song is called ’Kings and Queens’!!!”, teriak Jared Leto pada saat itu juga yang seketika memancing teriak histeris hamper seluruh penonton. Saya pun juga otomatis loncat-loncat—teriak—nyanyi-nyanyi sepanjang lagu, tidak seperti kebanyakan orang beruntung di atas panggung yang malah sibuk merekam wajah tampan Jared, Shannon, dan Tomo. Mungkin saya terdengar sinis, tapi mereka yang sibuk sendiri tersebut tidak tahu bagaimana caranya menikmati moment langka yang ada. Peduli apalah. Yang penting saya menikmati rasa bahagia luar biasa yang saya rasakan pada saat itu. Tidak pernah terlewat di pikiran saya sebelumnya untuk bisa berbagi panggung dengan siapapun musisi kesayangan saya.

“We were the kings and queens of promise!
We were the victims of ourselves!”

Dan dengan berhentinya lagu tersebut, berakhirlah sudah ‘surga’ saya pada saat itu.

Hari itu benar-benar salah satu hari yang tidak akan pernah bisa saya lupakan. Ah, bahkan saya pun sekarang masih tersenyum saat menulis tulisan ini, salah satu kenangan musikal terindah.
Tidak menyesal saya menghabiskan receh-receh di dalam dompet saya dan rela hidup ’ngirit’ sampai tanggal gajian di akhir bulan. Tidak menyesal saya dipotong gajinya hanya demi mantengin venue dari siang untuk bisa dapat spot menonton yang terbaik. Rasa lapar, haus, lemas, lelah yang dirasa selama acara pun terbayar lunas oleh apa yang telah saya alami.

Uang dapat dicari. Lapar, haus, dan segala temannya bisa dihilangkan.
Tapi pengalaman dan kenangan tidak akan bisa dibeli.

Saya masih ingat perkataan Jared Leto pada saat di tengah konser yang kira-kira seperti ini, ”We promise you, we’ll be back to Indonesia again!”.
Ya, saya harap mereka tidak melupakan janjinya tersebut. Dan saya berharap, pada saat mereka datang kembali ke negara ini, dengan konser tunggal mereka.

22 Juli 2011. 30 detik yang terasa abadi. 

***


Friday, September 14, 2012

Halo, Yah.

Sebelumnya, tidak apa kan aku memanggilmu 'Ayah' ? Rasanya panggilan itu terasa lebih nyaman di lidah ini. Dan juga, terasa lebih intim. Ah, aku yakin dirimu juga tidak akan merasa keberatan. Toh kita belum pernah saling memanggil sebelum ini. Aku baru sadar, kalau ini pertama kalinya juga aku mengajakmu berbicara.

Yah...
Untuk kesekian kalinya aku memandangi satu-satunya fotomu yang kupunya . Untuk kesekian kalinya pula aku merasakan sesak yang sama. Apa kabarmu di sana? Meskipun aku tahu pasti ayah selalu baik-baik saja, ingin sekali saja aku mendengar langsung bibirmu yang menjawab.

Iya, Yah. Aku kangen. Kangen sekali.

Sampai sekarang aku masih heran. Bagaimana bisa kita rindu akan sesuatu yang bahkan belum pernah kita lihat sekalipun? Iya, sekalipun.

Berkali-kali aku meminta pada Dia untuk sekali saja mempertemukan kita, meski hanya bisa di dalam mimpi. Apakah Tuhan sudah menyampaikannya ke Ayah? Karena sampai sekarang, dirimu masih belum juga datang...

Kenapa dirimu belum pernah datang? Apakah rindu ini hanya dirasa oleh sepihak?

Ayah tahu tidak? Sudah segudang cerita yang siap tumpah nanti saat aku punya kesempatan berbicara denganmu. Cerita tentang pekerjaanku, impian, sahabat-sahabatku yang menakjubkan, ribut kecil yang selalu saja terjadi antara aku dengan Mama ataupun Kakak, tumpukan koleksi CD dan CD lainnya yang ingin kubeli, kekhawatiranku mengumpulkan uang untuk menonton konser musisi favoritku di negeri sana, dan masih banyak lagi. Siap-siap saja nanti telingamu lelah mendengar segala ocehan panjang lebarku. Hahaha. Iya, anakmu yang satu ini memang cerewet sekali. Sudah turunan kali ya.

Ayah...
Andaikan dirimu tahu, betapa selalu aku merasa iri yang sangat setiap melihat anak perempuan yang sedang berjalan santai dengan ayahnya. Memeluk erat tangan kekar di samping mereka, seakan-akan tidak rela untuk melepasnya. Kadang aku berandai-andai jika dirimu masih ada di sini, apakah kita berdua juga akan seperti itu? Menjadi duo super kompak atau duo yang sering ribut? Mengingat cerita Kakak tentang dirimu yang sangat galak dulu. Ah, rasa-rasanya aku tidak peduli mau segalak apapun dirimu.  Karena aku yakin, kamu tetap sosok Ayah paling baik sedunia.

Aku tersadar, aku selalu ingin merasakan bagaimana rasanya dipeluk olehmu.

Entahlah. Aku sudah kehilangan kata-kata. Kangen sekali, Yah. Kangen kangen kangen kangeeeeennnnn luar biasa.

Tidak akan pernah lelah aku berdoa kepada Tuhan untuk menyuruhmu datang menghampiri mimpiku. Tidak akan.
Jadi maukah? Sekali saja? Dirimu mewujudkan pintaku ini?

Sebenarnya aku merasa bodoh menulis surat ini. Menulis surat kepada yang tidak ada. Tapi entah mengapa aku merasa dirimu pasti sedang membaca ini juga. Komyol, mungkin. Tapi biar saja. Rindu memang buta.

Sebentar lagi aku akan memejamkan mata. Menunggu jawabanmu. Tidak apa jika tidak bisa malam ini. Masih ada beribu malam lainnya jika Tuhan mengizinkan. Untuk Ayah, aku sabar menunggu.

Selamat malam, Yah.



Peluk erat,
Anakmu. Yang sedang diserbu jutaan rindu.

Bittersweet Symphony---side B


Ah, akhirnya aku melihatmu datang lagi. Seperti biasa, dirimu langsung menuju ke tempat favoritmu. Di kursi, pojokan, membelakangi speaker kecil di kafe ini. Sudah beberapa bulan ini aku memperhatikanmu melakukan hal yang sama setiap kamu mengunjungi tempat ini. Duduk di kursi yang itu-itu lagi, memesan kopi Mandailing dalam French press, lalu bersendau gurau dengan pria yang selalu menemani duduk di hadapanmu. Hampir setiap hari. Maka dari itu, rasanya ada yang aneh sudah seminggu ini tidak melihatmu ada seperti biasa. Seperti ada yang hilang. Aku rindu melihatmu, mungkin.

Dan ada yang lebih aneh dari itu. Kali ini, kamu datang sendirian. Setelah satu minggu menghilang.
Bagaimana bisa hal yang sudah dilakukan selama berbulan-bulan tiba-tiba saja berubah? Sebut aku orang yang sok tahu, tapi aku tahu kamu bukan orang yang mudah melenceng dari jalur yang sudah biasa kamu jalani.

Aku kembali memandangimu. Menu yang kamu pesan masih sama. Kopi Mandaling di dalam French press tanpa gula sama sekali. Kulihat kamu menyesap cairan hitam pekat itu secara perlahan, memejamkan mata untuk menikmati rasa pahit adiktif di setiap tetesan yang kamu minum. Inilah salah satu alasan mengapa aku senang memperhatikanmu. Caramu menikmati segala sesuatu yang menyentuh indera perasa dan pendengaranmu, entah mengapa membiusku. Bahkan tidak jarang aku mendapatimu tersenyum, memejamkan mata lalu menggerakan kepala dan tangan sesuai irama tiap mendengar lantunan musik kesukaanmu terdengar mengalun di belakang telingamu. Hanya melihatmu seperti itu saja sudah bisa membuatku merasa damai. Ternyata masih ada manusia yang menghargai sesuatu sekecil apapun itu.

Tetapi kali ini aku tidak merasa senang. Ada yang berbeda hari ini. Kamu tidak lagi menganggap hal-hal kecil itu sebagai sesuatu hal yang sakral. Kamu memang menikmati rasa kopi yang sedang kamu minum sekarang, tetapi aku bisa melihat pandanganmu yang kosong. Dan, mana gerakan kecil kepala dan tanganmu saat mendengar lantunan lagu kesukaanmu? Mana senandung merdu yang biasa keluar dari mulutmu? Padahal aku sudah sengaja membuat satu playlist khusus berisi lagu-lagu kesukaanmu agar bisa kumainkan tiap kamu datang ke kafe ini. John Mayer, itu salah satu musisi kesukaanmu, bukan? Mengapa kamu hanya diam saja? Mengapa tidak terlihat reaksi sedikitpun? Kamu hanya terus-terusan menenggak kopi itu.

Tiba-tiba kamu menundukkan kepalamu. Badanmu bergetar tidak karuan. Isakan sayup-sayup terdengar, menggantikan senandung merdu.
Pertanyaan ‘mengapa’ ku pun terjawab. Tapi bukan reaksi seperti ini yang ingin aku lihat.

Kamu menangis. Ada apa?

Kulihat kursi di depanmu yang biasanya terisi, sekarang ini kosong. Sekejap aku pun mengerti apa yang membuatmu menjadi berbeda hari ini.
Sebegitunya kah rasa sakitnya? Sampai kamu terlihat seperti ini.

“Eh lo tahu kan pelanggan kita, yang hampir setiap hari datang ke kafe? Seminggu yang lalu dia kecelakaan di dekat kafe waktu menuju ke sini….”
“Serius? Yang selalu datang sama perempuan yang duduk di pojokan itu kan? Terus gimana tuh?”
“Gue denger sih…saking parah kejadiannya, orangnya ga bisa diselamatkan lagi. Makanya sekarang dia cuma datang sendiri. Kasihan…”

Sekarang aku mengerti. Ternyata memang sebegitunya rasa sakit yang kamu rasa. Hingga membuatku miris melihatmu hancur saat ini.

Mungkin aku harus melakukan sesuatu.

*

“Ini, cokelat panas. Selalu terbukti dapat menenangkan hati dan pikiran. Jangan terus-terusan mengkonsumsi kopi. Sebagai penikmat kopi, seharusnya kamu tahu kandungan kaffein dalam kopi dapat membuat jantung semakin berdebar dan membuat perasaan menjadi tidak stabil.”

Kamu hanya memandangiku kosong, dan sedikit bingung. Jantungku rasanya berdetak jauh lebih kencang saat melihat matamu—di jarak sedekat ini. Bagaimana aku tidak berdebar seperti ini kalau biasanya aku hanya memandangimu dari jauh.

Melihat kamu tetap diam tidak menggubris kata-kataku, aku putuskan untuk melanjutkan pembicaraan kembali. “Sudah lama aku tidak melihatmu datang ke kafe ini……,” aku terdiam sejenak mengumpulkan keberanian untuk melontarkan kata-kata selanjutnya, “dan sudah kuduga, penyebab absennya kamu di tempat ini adalah orang yang biasa duduk di kursi aku duduki sekarang ini, dan sekarang dirinya malah tidak ada.”

Aku melihat dirimu terkesiap mendengar kata-kata gamblangku. Pandangan mata kosong itu berubah seketika menjadi tatapan kaget bercampur marah, sedih, entahlah. Yang pasti aku tahu, aku baru saja menyentil hal paling sensitif yang dari tadi terus kamu simpan rapat-rapat di dalam.

“Maaf, tapi saya tidak suka cokelat. Saya tidak minum minuman manis.” Akhirnya, ada juga kata-kata yang keluar dari mulutmu. Walaupun jelas sekali terdengar ketus. Kalimat penolakan. Dan aku tahu kamu marah.

Terserahlah kamu mau anggap aku orang tidak tahu diri, yang tiba-tiba datang lalu berkata seenaknya padahal tidak mengenalmu sama sekali. Aku tidak peduli. Aku hanya tidak ingin melihatmu dengan keadaan tadi.

“Tetap, kamu minum saja. Gratis kok.” Aku sebenarnya takut kamu marah lalu menyiramku dengan cokelat panas itu. Tapi, aku tahu, aku sudah tidak bisa berhenti di sini.

“Mungkin kamu memang tidak suka minuman manis. Tetapi terkadang kamu harus berani melakukan hal yang tidak kamu sukai demi memulai lembaran baru di dalam hidup. Jangan menimpa sesuatu yang pahit dengan hal yang pahit pula. Pulihkanlah kepahitan dengan sesuatu hal yang manis.”

Aku rasa, ini cukup. Melihat kamu yang hanya terdiam saat ini, membuatku bersyukur cangkir di atas mejamu tidak melayang ke kepalaku. Entah apa yang ada di pikiranmu saat ini. Semoga saja kamu memikirkan perkataanku tadi. Aku hanya bisa tersenyum melihatmu diam. Yah, sudah saatnya aku pergi dari meja ini.

Aku pun bangkit dari kursi ini. Rasanya berat duduk di sini seakan menggantikan orang tersebut.

“Kehilangan itu, memang sakit rasanya. Tapi asal kamu tahu, sakit yang kamu rasa sekarang mungkin sama rasanya dengan yang aku rasakan sewaktu menunggu kehadiranmu yang lama tidak pernah datang di tempat ini. Dan pada akhirnya kamu datang, aku malah harus melihatmu tertekan seperti ini.” Aku hanya tersenyum miris saat mengatakan hal itu. Aku juga perlu melepaskan beban yang aku rasa, kan? Aku menghela napas. Kali ini benar-benar cukup. “Sudahlah, minumlah cokelat ini. Kamu butuh sesuatu yang manis untuk membuatmu tersenyum. Lagipula seharusnya kamu bangga menjadi pelanggan pertama yang mencicipi cokelat panas racikan sang pemilik kafe.”

Aku benar-benar tidak akan mengusikmu lagi. Memandangimu dari jauh seperti biasa saja, itu sudah cukup bagiku. Aku hanya berharap, kamu tidak lagi berantakan seperti tadi. Tidak lagi merasakan beban setiap duduk di kursi favoritmu, minum minuman kesukaanmu, dan mendengar lagu kesayanganmu. Tidak lagi menatap pedih kursi kosong di depanmu. Tidak ada lagi air mata yang jatuh menggantikan cairan hitam pekat di dalam cangkir.

Dan mungkin, suatu saat nanti, jika kamu sudah siap memesan secangkir cokelat panas, aku akan berani duduk di hadapanmu. Melupakan apa yang terjadi pada hari ini, dan memulai sesuatu yang baru.

Thursday, September 6, 2012

Happy Wrinkles, Buddy.

This writing is written as a birthday present for one of my best men. Cheesy alert! Do not read it if you don't like the cheesy-yet-sweety thingy.
----------------------

Don't mind our expression. This is exactly what teens do nowadays.

Louis Bernardus, nama lengkapnya. Kerap kali dipanggil 'Ucup' oleh para teman dan sahabatnya. Jangan tanya sama saya kenapa panggilan yang jauh sekali dari nama aslinya tersebut bisa-bisanya tercipta. Bahkan pertama kalinya saya kenal dengan lelaki ini, saya tahunya ya namanya Ucup.

Pertama kalinya saya berkenalan dengan dirinya... Lupa pastinya kapan. Yang pasti sewaktu itu kami sama-sama masih duduk di bangku kelas 2 SMA. Tidak, kami tidak satu sekolah. Dikarenakan kami berdua tergabung di suatu komunitas paduan suara yang anggotanya terdiri dari sekolah homogen laki-laki dan sekolah kejuruan pariwisata yang cukup dikenal di Jakarta. Dimulai dari pertemuan di tiap latihan rutin setiap satu minggu sekali, latihan yang makin rutin tiap akan menghadapi lomba ataupun pentas, atau pun hanya sekadar ngumpul-ngalor-ngidul biasa, membuat saya dengan dirinya dan teman-teman yang lain menjadi semakin dekat. Alur pertemuan yang mungkin terkesan biasa saja, tapi bagi saya hal ini sangatlah berharga dan patut untuk dikenang. Bahkan saya tidak bisa berhenti tersenyum saat menulis ini.

Tidak ada yang tahu kenapa saya bisa berteman dekat manusia satu ini. Memang saya, dan satu kawan perempuan lainnya (tidak usah disebutkan lah ya siapa namanya), memang sudah menganggap dirinya sebagai sahabat paling dekat. Catat: Sahabat, sudah bukan teman lagi. Apalagi buat saya yang notabene anaknya tidak mudah berteman dengan orang lain, punya satu sahabat seperti ia pun rasanya penting sekali.

Entah apa yang bisa membuat saya nyaman berteman dengan dirinya. Dilihat dari persamaan, jauh berbeda sekali. Saya orangnya jatuh-cinta-gedubragan sama yang namanya musik dan berusaha untuk selalu update berita musik terkini, lah dia malah bisa nih tidak tahu musisi yang mungkin hitungannya masih masuk mainstream. Saya yang anaknya pemalas dan asal-asalan, bagaikan bumi dan langit dengan dirinya yang rajin, berwawasan luas, dan tertata hidupnya. Saya yang ini, dia yang itu. Saya yang begini, dia yang begitu. Kebanyakan ga nyambung.

Tapi itulah gunanya seorang teman. Saling memperbaiki, mengisi, dan melengkapi.

Satu hal yang selalu saya sukai dan coba ikuti dari dirinya: Sosok yang optimis.
Mau lagi sesusah apapun, sedepresif bagaimanapun, ia selalu berusaha optimis. Mengambil sisi positif dari segala segi kehidupan. Karena itulah, terkadang di titik terendah saya pun, ia selalu bisa membuat saya berusaha bangkit kembali.
Ia juga satu-satunya, manusia yang menganggap mimpi muluk saya bukan merupakan hal yang mustahil, dan pasti akan bisa saya gapai. Bisa memiliki orang yang mempercayai mimpimu, apalagi itu adalah orang terdekatmu, buat saya merupakan berkah yang tidak terhingga.

Karena itu, saya ingin mengucapkan banyak banyak banyak terima kasih untuk dirinya. Terima kasih untuk sudah menjadi sahabat yang baik. Terima kasih untuk telinga yang selalu tersedia untuk mendengarkan. Terima kasih untuk tangan yang selalu sigap membantu untuk bangkit kembali. Terima kasih untuk otak yang kian memberikan segala wawasan baru. Dan, terutama, terima kasih untuk hati yang selalu percaya. Sekali lagi, terima kasih.

Mungkin saya tidak bisa membalas apa yang sudah diberikan. Kali ini, saya hanya bisa menaikkan doa-doa kepada Yang Di Atas, agar di umurnya yang bertambah hari ini hingga hari-hari selanjutnya, Beliau akan memberikan hal-hal yang turut menciptakan seutas senyum di atas wajahnya. Keinginanku hanya satu, dirinya selalu merasa kebahagiaan yang berlimpah.

Semoga kita selalu begini adanya. Walaupun jarak memisahkan (cuma Cibubur-Jakarta sih), kesibukan menghadang, tetapi apa yang ada tetap terjaga.

Sayang sekali dirinya saat ini tidak berada di lingkupan yang sama dengan saya dan teman-teman. Kalau saya dan satu kawan perempuan punya sayap, mungkin kami berdua akan terbang sekarang juga ke tempat dirinya merayakan hari jadinya hari ini. Lumayan, bisa merayakan ulang tahun seorang sahabat ditemani suara alam yang masih kental terasa.

Saya yakin ia pasti senyum-senyum sendiri ataupun malah bergidik geli saat membaca tulisan cheesy ini. Tenang saja, tulisan ini hanya akan saya buat sekali dalam seumur hidup. Demi menghindari hal-hal tidak diinginkan, seperti misal dirinya yang akan terbang melambung tinggi saking senang karena sudah dipuji (berlebihan). Lagian saya juga terpaksa bikin tulisan ini, toh saya ga mungkin ngomong begini manis langsung ke dirinya.

Sekali lagi, selamat menginjak usia sembilan-belas-tahun, kawan! Setahap menuju menjadi seorang dewasa (walaupun menurut saya kawan yang satu ini sudah cukup dewasa).

Saya, dan teman-teman lain, selalu menyertaimu! (iya, mau ngomong 'sayang' tapi ngga deh, tulisan ini sudah cukup cheesy untuk ditambah kata itu lagi)


Pelukerat,tendang,tonjok,
Si huruf C dari ABC (Ucup pasti ngerti lah yaaa)

***

"Dear, my 2 (most) favourite bands..."


The Trees And The Wild, ESPOSE 2012, Bandung
Sigur Rós, SF Outside Lands 2012

Still can't believe I will see you both at one event. On the same stage.
I think I'm going to cry. Cry in my happiness. (No, I'm not overacting. This is real. You guys just don't understand how much I adore their music.)

It's gonna be a spiritual journey while watching your music LIVE at the same time.

I am so excited! See you on 25th November 2012 at Urbanscapes Festival !



With teary eyed,
Your hardcore admirer.

Bittersweet Symphony---side A

Aku mendapati diriku kembali duduk di tempat ini.
Di kursi yang sama seperti sebelum-sebelumnya.
Pojok ruangan, meja untuk dua orang, membelakangi kasir dengan speaker tepat di belakang telinga.
Tempat ini juga masih sama.
Jumlah meja dan kursi yang masih statis, lukisan-lukisan terpampang di dinding yang sudah aku hapal letak dan namanya, buku-buku untuk dibaca oleh pelanggan yang sudah semua aku lahap abis, dan para pelayan yang aku ingat betul wajah dan namanya begitupun juga mereka kepadaku.

“Mandailing coffee in french press, without sugar.”
Kupandangi senyum pelayan perempuan yang masih sama ramahnya, menyatakan menu yang akan ia buat.
Ya, bahkan mereka tidak perlu bertanya lagi karena sudah hapal kebiasaanku.
Kubalas ia dengan senyum seadanya di wajahku, sekaligus memberikan tanda padanya untuk segera berlalu menyiapkan pesananku.

Kopi. Hanya itu yang sangat kubutuhkan sekarang.

Sayup-sayup terdengar suara musik mengalun dari speaker di belakang telingaku. Akupun secara otomatis tersenyum mendengarnya. Bahkan musik di tempat ini pun masih sama.
Masih sama dengan saat pertama kali aku menjejakkan kakiku di tempat ini.

Segalanya masih sama. Apa yang berbeda hanyalah, saat ini, kursi di hadapanku, kosong. Tidak ada yang menempati.
Tidak ada kamu. Orang yang mengenalkanku pada tempat ini.
Sesuatu bergemuruh keras di dalam dada saat memandangi kursi kosong tersebut.
1…2…1…2…tarik napas, hembuskan perlahan, ulangi lagi. Aku harus tenang. Toh tujuanku ke sini kan untuk bersantai.

Atau lebih tepatnya, untuk mengisi kekosongan diri dengan tetap melakukan aktifitas yang biasa aku lakukan bersamanya.

“Silahkan, Mandailing coffee-nya. Hati-hati masih panas. Jika memerlukan bantuan, bisa langsung panggil saya atau pelayan lain yang bertugas. Selamat menikmati”. Deretan kalimat dari pelayan perempuan yang tadi melayaniku membuyarkan lamunanku. Untung saja dia cepat datang dengan kopi yang kupesan. Aku sudah bilang kan aku sedang sangat butuh kopi ini?

Kudiamkan beberapa menit kopi di dalam french press di hadapanku. Aku ingat sekali, kamu yang pertama kali mengenalkanku alat ini. Kamu bilang, minum kopi dari alat ini lebih menyenangkan daripada langsung meminum kopi yang sudah tersedia dalam cangkir. Lebih menyenangkan karena setidaknya ada usaha sedikit yang harus kita lakukan sebelum merasakan kenikmatan kopi tersebut. Bahkan kita harus bersabar sedikit, karena kopi di dalam french press tersebut harus didiamkan terlebih dahulu sebelum alatnya menekan ampas kopi di dalam demi hasil rasa kopi yang sempurna.
Aku jadi geli sendiri mengingatnya. Kamu memang seorang pekerja keras, perhitungan, dan perfeksionis. Bahkan untuk minum kopi saja, minimal harus ada prosesinya terlebih dahulu. Tapi inilah yang membuatmu berbeda dari lelaki lain. Dan inilah salah satu alasan yang membuatku terjatuh padamu.

Ah, aku bisa membayangkan muka sinismu yang selalu kau tunjukkan jika aku mulai bersikap mellow seperti perempuan kebanyakan. Ya, kamu memang anti dengan perempuan seperti itu. Salah satu hal lainnya yang membuatmu menjadi sosok lelaki yang berbeda.

Kutekan alat french press ini pelan-pelan, sambil merasakan proses yang terjadi di dalam alat tersebut. Sama persis seperti yang selalu kamu lakukan. Kutuangkan kopi tersebut memenuhi cangkir yang sudah tersedia di atas meja, lalu kusesap kopi itu perlahan.
Kupejamkan mata ini. Menikmati setiap tetesan rasa di lidah. Kusesap lagi, terus-terusan, hingga hampir menghabisi cairan di dalam cangkir ini.

Rasa kopi ini pahit, tetapi adiktif.

Sama seperti kehadiranmu di dalam hidupku. Tidak jarang kamu membuatku susah dengan adanya kamu. Dengan sifatmu yang keras dan perfeksionis. Tetapi aku tetap suka. Karena dengan apa adanya dirimu, aku yang selalu bersifat santai, merasa dilengkapi. Kamu, bagaikan candu bagiku.

Kuminum tetesan terakhir di dalam cangkir hingga bersih.

Tidak. Aku semakin tidak tahan. Rasa kopi ini, suasana kafe yang selalu sama yang aku kira selalu dapat melengkapi, tidak bisa mengisi kekosongan diri karena telah kehilangan kamu. Malahan aku semakin merasa kosong. Semakin merasa kehilangan. Rasa kopi ini, suasana kafe yang selalu sama, tetapi tanpa kehadiranmu, memaksaku menghadapi kenyataan bahwa segalanya tak akan lagi terasa sama. Kamu, tidak akan pernah lagi duduk menikmati kopi di hadapanku. Kamu, tidak akan pernah ada lagi.

Tidak. Aku sudah tidak kuat. Hei kamu, bolehkah sekali ini saja pertahananku runtuh? Sekali ini saja aku ingin seperti perempuan kebanyakan lainnya. Aku sudah tidak kuat menjadi kuat. Rasanya diri sudah ingin meledak, hancur berkeping-keping.

Cairan hitam pekat di dalam cangkir pun berganti dengan tetesan air yang jatuh dari mata ini. Kutundukkan kepalaku. Kukeluarkan semuanya. Rasa kosong, rindu, marah, cinta, kehilangan, semuanya menjadi satu dalam air mata ini. Rasa yang menumpuk sekian lama ini sudah tidak sehat, harus segera dilepaskan seluruhnya.

Sekali lagi, maafkan aku tidak bisa menjadi sekuat yang kamu harapkan.

………

“Ini, cokelat panas. Selalu terbukti dapat menenangkan hati dan pikiran. Jangan terus-terusan mengkonsumsi kopi. Sebagai penikmat kopi, seharusnya kamu tahu kandungan kaffein dalam kopi dapat membuat jantung semakin berdebar dan membuat perasaan menjadi tidak stabil.”

Kupandangi secangkir cokelat di atas meja dengan asap mengebul yang diarahkan ke hadapanku. Kuganti pandanganku ke sosok pemberi minuman tersebut, yang tengah duduk menempati kursi milikmu. Aku kenal dia. Pemilik kafe ini. Beberapa kali aku melihatnya ikut melayani pelanggan. Penampilannya yang lebih rapih dan berbeda dengan pelayan lainnya yang membuatku memutuskan bahwa ialah pemilik kafe.

“Sudah lama aku tidak melihatmu datang ke kafe ini.”, ucapnya saat aku hanya memandangi wajahnya. “Dan sudah kuduga, penyebab absennya kamu di tempat ini adalah orang yang biasa duduk di kursi aku duduki sekarang ini, dan sekarang dirinya malah tidak ada.”

Perlukah dirinya mengkonfirmasi hal nyata tersebut? Tidak perlu ia memberitahu lagi sesuatu yang sudah aku ketahui. Aku tidak suka. Rasanya seperti dibenturkan berkali-kali kepada kenyataan yang pahit.

“Maaf, tapi saya tidak suka cokelat. Saya tidak minum minuman manis.”, jawabku dengan sedikit ketus sekaligus ingin memberikan pertanda bahwa aku tidak suka ia duduk di hadapanku, di kursi tempat dirimu biasa berada. Walaupun ia pemilik kafe, seharusnya ia tetap tidak boleh mengusik privasi pelanggannya.

“Tetap, kamu minum saja. Gratis kok.”, didorongnya secangkir cokelat tersebut semakin dekat ke hadapanku. Ia seakan tidak peduli dengan sikapku yang bersikap tidak ramah padanya.

“Mungkin kamu memang tidak suka minuman manis. Tetapi terkadang kamu harus berani melakukan hal yang tidak kamu sukai demi memulai lembaran baru di dalam hidup. Jangan menimpa sesuatu yang pahit dengan hal yang pahit pula. Pulihkanlah kepahitan dengan sesuatu hal yang manis.”

Akupun terdiam mendengar rentetan kata yang keluar dari mulutnya. Kalau kata-kata bisa berubah menjadi pisau, mungkin tubuhku sekarang ini sudah berdarah-darah dirajami oleh kata-kata yang menghujam tersebut.
Aku hanya terdiam, tidak bisa berkata-kata.

Melihatku yang hanya terdiam seribu bahasa, ia pun tersenyum lalu bangkit dari tempat duduk milikmu. Kaget. Senyum itu mengingatkanku akan senyummu yang sebelumnya tidak pernah absen dalam hari-hariku. Aku seakan melihat dirimu lah yang hadir di hadapanku.

“Kehilangan itu, memang sakit rasanya. Tapi asal kamu tahu, sakit yang kamu rasa sekarang mungkin sama rasanya dengan yang aku rasakan sewaktu menunggu kehadiranmu yang lama tidak pernah datang di tempat ini. Dan pada akhirnya kamu datang, aku malah harus melihatmu tertekan seperti ini.” Kulihat senyum di wajahnya yang sedikit miris, sambil berusaha mencerna kata-kata yang ia ucapkan.

“Sudahlah, minumlah cokelat ini. Kamu butuh sesuatu yang manis untuk membuatmu tersenyum. Lagipula seharusnya kamu bangga menjadi pelanggan pertama yang mencicipi cokelat panas racikan sang pemilik kafe.”, lanjutnya sambil tersenyum dan berlalu menuju ke ruangan dalam kafe tempat khusus para pekerja.

Kembali aku terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Kata-kata gamblang dari dirinya, juga dirimu yang seakan tiba-tiba muncul di hadapanku....

Apa boleh kedatangan tiba-tiba tadi aku anggap sesuatu pertanda darimu? Sesuatu pertanda bahwa kamu memang telah rela melepasku, dan kamu pun berharap aku juga rela melepasmu. Sesuatu pertanda bahwa kamu lelah melihatku menjadi perempuan lemah yang selama ini kamu benci. Sesuatu pertanda bahwa kamu ingin melihatku bergerak, berpindah. Sesuatu pertanda bahwa kamu hanya ingin melihatku bahagia.

Bolehkah?

Kusesap secangkir cokelat panas di atas mejaku. Manis. Dengan masih ada sedikit rasa pahit kopi tertinggal di lidah. Mungkin aku memang butuh manis lebih banyak lagi untuk menghilangkan sama sekali rasa pahit ini.

Ya. Mungkin sudah saatnya aku mulai mempunyai kebiasaan baru, memesan secangkir cokelat panas. Secangkir cokelat panas yang dibuatkan khusus untukku.


Taken from: Google

Tuesday, September 4, 2012

"I'm singing my blue..."


I feel like my heart has stopped beating.
You and I. Frozen here, after a war.
Trauma, that has been carved in my head,
Once these tears dried up, I will moistly remember my love.
I’m neither painful nor lonely,
Happiness is all a self-talk.
I can’t stand something more complicated.
It’s no big deal, I don’t care.
Inevitable wandering, people always come and go...


*Translated from Big Bang's song 'Blue'

Tuesday, August 28, 2012


"Puncak rindu itu adalah jika dua orang tidak saling berkomunikasi tapi saling mendoakan dalam diam."

 -Sudjiwo Tedjo-


Tapi bagaimana jika hanya aku yang setia mendoakanmu?
Apakah itu artinya hanya aku yang merindu?

Bukankah 'saling' sudah seharusnya jadi kata wajib?
Seharusnya kamu juga turut mendoakanku, kan.
(Seharusnya) kamu ikut aku merindu.

Haha, namun realita menghantam harapan.
Sejak kapan kamu mengenal kata 'saling' dan 'seharusnya' kalau ada sangkut paut denganku?


Kamu, hidup dengan dunia logikamu.
Aku, tenggelam dalam harapan tentangmu.

Wednesday, August 1, 2012

For What It's Worth I Love You.....


The Cardigans Live In Jakarta
14th August 2012 at Tennis Indoor Senayan


"I will never know, cause you will never show
Come on and love me now...
Come on and love me now....."

Lirik di atas langsung mencuat di pikiran saya ketika mendengar berita bahwa The Cardigans akan mengadakan konser mereka di Jakarta, Tennis Indoor Senayan, pada tanggal 14 Agustus 2012. Ujung bibir saya pun tertarik ke atas untuk tersenyum. Lalu otomatis mengumamkan alunan nada dari bagian refrain lagu "Carnival" dari The Cardigans. Badan ikut bergoyang kecil mengikuti gumaman nada dari mulut ini, dan bayangan visualisasi Nina Persson, sang vokalis bersama personil lainnya menari kecil di video klip lagu tersebut.
Selalu begini. Selalu ini yang terjadi setiap saya mendengar ataupun menyanyikan lagu The Cardigans kesukaan saya. Badan dan pikiran rasanya ikut bergoyang menikmati alunan nada dan keindahan lirik yang ada.

Ya, "Carnival" merupakan lagu urutan paling atas untuk playlist "The Cardigans' Music" saya.

Saya lupa persisnya kapan dan darimana pertama kali saya mendengar lagu tersebut. Kalau tidak salah saya mendengar lagu itu menjadi backsound salah satu acara televisi. Sewaktu saya mendengar alunan nada awal saja, saya langsung jatuh cinta. Sejak saat itu saya mencari tahu apa judul lagu tersebut dan siapa saja musisi hebat di belakangnya. Dan mulai mendengarkan satu per satu lagu mereka. Dan akhirnya saya pun jatuh cinta kedua kalinya, kali ini ke dalam pelukan The Cardigans keseluruhan.

Entah apa yang membuat saya bisa jatuh cinta sama mereka. Karena kalau dipikir-pikir saya yang dulu itu hanya mau mendengarkan musik rock beritme keras, cenderung ke musik emo (atau bahkan metal sekaligus?). Pokoknya hanya mau mendengarkan lagu yang terdapat distorsi gitar yang kencang dan gebukan drum yang beruntun di dalamnya.
The Cardigans lah kumpulan musisi pertama yang membuka telinga saya untuk mendengarkan musik lainnya di luar sana. Akhirnya, dari musisi semacam Sixpence None The Richer sampai ke White Shoes And The Couples Company pun sekarang menjadi nama wajib untuk dimasukkan ke music playlist saya.

The Cardigans membawa saya berpetualang untuk mengeksplor jenis-jenis musik lain yang tidak kalah indahnya dengan musik kencang kesukaan saya dulu.

Selain itu, musik dari band ini selalu saja berhasil menenangkan dan memberikan hawa positif di pikiran saya.  Suara lembut khas Nina Persson, alunan gitar dari Peter Svensson, dentuman bass yang terdengar kental dari Magnus Sveningsson, gebukan drum ringan nan menyenangkan ala Bengt Lagerberg dan dentingan keyboard dari Lars-Olof Johansson, kolaborasi dari seluruh suara yang mereka keluarkan menurut saya menjadi suatu harmonisasi yang teduh dan indah sekali. Seringkali saya merasa melayang setiap mendengar lagu mereka.

Rangkaian kata dalam lirik lagu mereka pun senantiasa menemani jalan kehidupan saya. "Carnival" yang seakan otomatis menjadi soundtrack saya jika sedang jatuh cinta, "Lovefool" yang seakan membuat hati miris setiap mendengarnya pada saat sedang dikecewakan oleh seseorang, hingga "Rise and Shine" yang seakan mengajak saya untuk tidak jatuh terpuruk terlalu lama dan bangkit kembali. "Pooh Song" dan "The Road" pun selalu mengingatkan saya akan keberadaan sahabat dan orang terdekat. Rasanya ingin sekali mengajak mereka mereka menari bersama ditemani alunan ceria kedua lagu tersebut :)

Tidak ada habisnya jika saya harus mendeskripsikan pandangan saya terhadap para musisi satu ini.
The Cardigans berhasil membawa dan menemani saya berpetualang dalam kehidupan ini. Loncat dari satu babak ke babak lainnya dengan ceria.
Maka dari itu ingin sekali rasanya saya melihat langsung penampilan mereka. Saya ingin secara langsung memandangi mereka, para personil menyanyi, menari, tersenyum, dan berkarya bersama di atas panggung. Saya ingin sekali merasakan letupan rasa bahagia di hati pada saat bernyanyi bersama dengan mereka. Tidak heran jika ada air mata yang turun di pipi saya pada saat melihat pemandangan yang indah seperti itu di atas panggung.
Karena bagi saya, The Cardigans ialah salah satu pahlawan di kehidupan musikalitas saya.

"For what it's worth I love you..
And what is worse I really do...
Oh what is worse I'm gonna run run run!
'Till the sweetness gets to you
And what is worse I love you!"

Yes. The Cardigans is worth to be loved. They are worth to be watched.
And I'm gonna run into their greatness musical wonder :)

Pic 3
The Cardigans,  
14th November 2003 in Thessaloniki, Greece


***

You can try to get free ticket of The Cardigans' Live In Jakarta by join the contest from "Green Sands & The Cardigans" (Click this link to open the page)

Tuesday, July 31, 2012

Diri Sendiri = Kunci Awal.


Entah kenapa waktu lagi iseng utak-atik website Vimeo, saya menemukan video ini. Baru ngeh kalau lagunya Sigur Rós yang berjudul 'Hoppipolla' jadi backsound TV commercial Earth Hour 2012 ini! (yang sudah kenal saya pasti ngerti kenapa saya heboh pas tau lagu Sigur Rós jadi backsound)
Eh terus juga baru ngeh ada Nadya Hutagalung! Astaga, I really adore her! Salah satu contoh wanita hebat masa kini, yang sudah berkontribusi untuk lingkungan dan dunia dengan ga banyak omong.

Tapi sebenarnya bukan karena Sigur Rós dan Nadya Hutagalung sih saya mau bahas tentang video ini. Mereka sekadar side dish yang memperindah keseluruhan video.
Saya lebih mau bahas, mengenai isi dan maksud dari video Earth Hour 2012. Memang sih telat kalau mau dibahas sekarang secara Earth Hour juga sudah lewat beberapa bulan yang lalu. Tapi entah kenapa saya tergelitik saat menonton video ini lagi.

Jujur, saya merasa dirajam langsung waktu menonton dengan lebih seksama.
Ternyata......masih banyak hal yang tidak saya lakukan untuk menjaga bumi kita tercinta ini.
Bisa dilihat dari hal-hal kecil deh.
Saya kalau siang-siang masih suka nyalain semua lampu di rumah. Padahal sinar matahari dari luar jendela sudah memberi penerangan yang cukup.
Saya kalau mandi masih suka lama ba.....nget! Buang-buang air buat main-main di kamar mandi sesuka hati.
Saya masih suka beli air mineral kemasan plastik, padahal kan bisa bawa botol minum dari rumah.
Saya masih suka belanja dikit-dikit minta dibungkus plastik, padahal lebih efisien bawa shopping bag kemana-mana.
Saya masih suka memakai pemakaian listrik yang berlebihan, misal pemakaian AC di saat-saat tidak diperlukan.
Saya masih suka berbuat (buruk) ini dan itu.

Langsung saya diam. Mikir. Merenung. Introspeksi diri.
Selama ini saya sering berkoar-koar menuntut adanya suatu perubahan. Mengkoreksi perilaku orang yang menurut saya salah. Mengeluhkan situasi buruk lingkungan dan alam yang ada sekarang.
Tapi dari diri saya sendiri saja, saya tidak melakukan apa-apa.
Bahkan bisa dibilang, saya juga ikut andil dalam merusak lingkungan.
Kalau sudah begini.....salah siapa?

Mungkin memang benar ya. Untuk mengadakan sesuatu perbaikan dan perubahan itu, dibutuhkan kesadaran dari diri sendiri. Memang contoh perbuatan yang saya sebutkan di atas itu terkesan remeh. Tapi coba bayangkan kalau semua orang masih berbuat seperti itu. Yang ada numpuk-numpuk-numpuk terus, dan akhirnya meledak.
Memang harus diri sendiri dulu yang dibenahi, diperbaiki. Baru bisa melaksanakan sesuatu perbaikan yang lebih luas.
Jika diri sendiri sudah benar, baru bisa mengajak orang lain untuk ikut melakukan sesuatu hal yang benar pula. Lambat tetapi pasti. Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit.

Saya sendiri juga masih banyak belajar.
Dari sekarang saya mau belajar untuk mengurangi (bahkan kalau bisa menghilangkan!) kebiasaan buruk yang ternyata memberi dampak buruk untuk lingkungan dan bumi kita.
Belajar menggunakan air dan listrik secukupnya, meminimalisirkan penggunaan kemasan plastik dalam kehidupan sehari-hari, menjaga kebersihan, pokoknya belajar melakukan hal baik lainnya lah.

Hal kecil, dan membutuhkan proses yang lama. Tetapi segala perubahan memang hanya bisa dimulai dari kita sendiri.
Kita, kunci dari segala awal.

Wednesday, July 25, 2012

My Dream Job Would Be : Music Journalist

Saya baru aja ikutan project dari salah satu blogger Indonesia kesukaan saya, Ka Rahne Putri. Waktu itu di post Tumblr Ka Rahne ini, dia memberitahu bahwa dia dan temannya membuat suatu blog project, yaitu In Parallel Universe. Di sini kita bisa submit tulisan kita mengenai pekerjaan sederhana yang kita impikan tanpa memikirkan imbalan yang kita dapatkan.

Untuk mimpi saya sendiri, saya memilih menjadi Jurnalis Musik.
Kenapa?
Sesederhana karena saya sangat amat mencintai musik. Rasanya, musik itu sudah menjadi 90% bagian dari hidup saya. Mendengarkan musik sudah menjadi kewajiban di sela tiap aktivitas padat saya. Menonton langsung para musisi favorit berekspresi di atas panggung sudah menjadi kebutuhan saya (tentu saja jika didukung oleh keadaan finansial saat itu).
Dan, mengapa harus jurnalis? Karena saya lebih menikmati bekerja di belakang layar, tidak terekspos. Cukup menulis suatu resensi musik, dan melihat ada nama saya tercantum di atas kertas sebagai penulis, itu sudah menjadi kebahagian luar biasa tersendiri.

Sesederhana karena musik membuat saya bebas. Dan saya ingin bekerja untuk sesuatu yang saya cintai.

Berikut tulisan yang tadi saya coba masukkan di Tumblr tersebut.

Di #DuniaParalel, saya ingin menjadi seorang jurnalis musik. Musik yang merupakan hal yang paling saya cintai di dunia ini.
Tetapi saya lebih ingin bekerja di belakang layar musik itu sendiri, tidak perlu menjadi pelakon di atas panggung. 
Meliput sebuah konser musik, mengabadikan ekspresi lepas nan indah para musisi yang terlihat letih namun bebas di atas panggung, lalu membagikan pengalaman tidak terlupakan itu di atas tulisan-tulisan yang akan dibaca oleh dunia luar.
Mewawancara para musisi, mengetahui seluk beluk kehidupan musik mereka, lalu menuliskan kembali perjalanan tersebut untuk dilihat oleh orang banyak.
Menuliskan resensi seorang musisi, album musik dan lain sebagainya, untuk memberi tahukan orang di luar sana keindahan musik yang ada dan sedang terjadi. 
Tidak penting seberapa besar uang yang didapatkan. Bekerja di belakang layar, memberi pengetahuan kepada dunia luar, bisa melakukan apa yang dicinta. Itu sudah sangat lebih dari cukup.

Terus berdoa, dan berusaha.
Semoga saja, suatu saat, ada jalan yang membuat saya dapat meraih mimpi ini.

***

Untuk yang ingin ikut berbagi mimpi, silahkan jelajahi Tempat Ini :)

Thursday, July 19, 2012

A Warm Gathering With FB.

Kemarin, tanggal 18 Juli 2012 jam 19.00 WIB, saya menyempatkan diri sepulang kantor untuk datang ke Rumah Independen di Jl. Tebet Barat 1 no. 23 untuk menghadiri acara kumpul bersama Bang Faisal Basrie beserta tim, relawan, dan pendukung lainnya yang dibuka untuk umum.
Hasilnya? Acara tersebut sangat tidak mengecewakan. Rasanya rasa letih luar biasa yang disebabkan oleh macet (luar biasa) Jakarta kemarin langsung terbayarkan oleh hangatnya atmosfer selama acara berjalan.


Ini pertama kalinya saya bertemu Bang Faisal Basrie, dimana sebelumnya saya hanya tahu siapa beliau dari omongan teman-teman yang kebetulan mengenal beliau dan dari tulisan-tulisan di social media.
Dan ternyata sosok beliau sangatlah berbeda apa yang saya pikirkan sebelumnya.
Saya tahu bahwa beliau merupakan sosok yang baik (kalau tidak baik, kenapa juga saya mau memilih beliau di pemilukada kemarin?). Tetapi mengingat bahwa beliau juga salah satu tokoh di Indonesia, saya tidak berharap terlalu muluk. Apa sih yang biasanya kalian tahu dari sosok seorang tokoh? Jujur, saya selalu berpikir, mereka arogan. Yah, kalau tidak arogan pun, terkesan 'dingin' lah saat bertemu orang baru yang notabene bukan siapa-siapa.
Tetapi saya merasa kagum, dan berani mengakui, bahwa Bang Faisal Basrie berbeda jauh dengan pemikiran saya selama ini. Tidak ada sifat arogan yang saya rasakan dari beliau kemarin. Malahan, saya dapat melihat bahwa beliau benar-benar rendah hati dan hangat seperti yang sudah saya pernah baca di beberapa tulisan opini orang-orang.
Saya yang kebetulan datang terlambat di acara kemarin (yes, traffic jam is suck), duduk lesehan di sebelah Bang Faisal sendiri karena itu satu-satunya tempat yang masih kosong. Oh ya, FYI, Rumah Independen kemarin penuh saking ramainya orang yang datang. Bahkan beberapa orang harus rela berdiri di luar pintu karena sudah tidak bisa masuk lagi ke dalam ruangan.
Saya tadinya agak kaget bisa duduk di sebelah beliau, dan jujur agak bingung mau ngapain. Tapi apa yang beliau lakukan? Melihat saya yang baru duduk, beliau langsung menyalam tangan saya lalu kami berdua ngobrol-ngobrol sedikit tentang hal yang remeh temeh. Hal kecil memang, tapi itu bisa membuat saya terkesan and well, merasa dianggap.

Tidak sampai di situ saja. Suasana sharing dan diskusi antar orang pun juga terasa hangat. Sambil duduk lesehan dan mencicip snacks yang disediakan, satu per satu orang menceritakan pengalaman, menyampaikan pendapat, mengajukan saran, dan masih banyak yang lainnya.

Ada satu Bapak keturunan chinese sharing mengenai pengalamannya. Pada saat hari H pemilukada kemarin, seseorang teman dari Bapak ini bertanya (atau lebih ke menyatakan) "Eh, lu pilih siapa ntar? Pasti pilih Ahok kan!". Bapak ini cuma menjawab, "Ngga. Dari baju kemeja putih gue aja udah keliatan gue mau pilih siapa. Ya FaisalBiem lah. Lagian kenapa harus milih Ahok? Emangnya kita ini mau pemilihan gubernur atau ketua suku?"
Dari cerita Bapak ini saya mengambil kesimpulan, betapa masih sempitnya pemikiran orang Indonesia saat ini. Saya tidak bermaksud rasis juga mengatakan bahwa memilih pasangan lain juga salah. Toh setiap orang mempunyai pilihan yang berbeda. Tetapi kenyataannya masih banyak orang yang entah terlalu apatis atau bagaimana, menjatuhkan pilihannya hanya karena faktor persamaan etnis, agama, latar belakang, dan lainnya, dibanding melihat seberapa qualify pilihannya tersebut. Tidak kah mereka sadar bahwa sesuatu perubahan ada di tangan mereka para pemilih?

Lalu ada cerita dari seorang petugas security di suatu restoran Itali di Jakarta. Orang ini bercerita, bahwa dia dianggap 'gila' oleh teman-temannya karena dianggap terlalu idealis dan tidak realistis. Bahkan ada beberapa temannya yang bicara "Ngapain sih lu milih nomor 5? Ga realistis! Harusnya tuh, yang kasih kita duit, orang itu yang kita pilih!"
Miris memang mendengarnya. Dimana orang masih menganggap uang adalah segalanya. Tapi saya bisa bicara apa jika yang berbicara itu orang dari kelas menengah ke bawah, yang seringkali dirugikan oleh pemerintah?

Itu masih sebagian kecil cerita dari sharing teman-teman di gathering kemarin. Terlalu banyak yang harus dituliskan jika semuanya harus saya ceritakan di sini.

Tetapi pada intinya, semua orang di tempat itu berharap bahwa gerakan independen ini tidak akan berhenti sampai di sini saja. Berharap bahwa kita dapat melakukan sesuatu. Sesuatu perubahan dengan gerakan yang orang pandang sebelah mata. Tetap menetapkan "berdaya bareng-bareng" yang sudah dikomitmenkan untuk menjadi pedoman kita bergerak maju.

Secara pribadi, saya merasa terberkati bisa hadir dalam acara kemarin, karena saya jadi belajar banyak mengenai politik yang secara tidak langsung diajarkan dengan cara yang ringan dan fun, dan menjadi lebih peduli dengan Jakarta bahkan Indonesia. Tidak apatis lagi dengan politik. Dan saya merasa terinspirasi.

Karena itu, saya menunggu sesuatu gerakan yang nantinya akan disimpulkan dan dibuat oleh Bang Faisal dan team sendiri, dan pasti akan turut ikut andil dalam hal tersebut. Saya sangat siap memberikan bantuan sejauh yang saya bisa lakukan. Disamping itu, saya tentu juga akan berusaha untuk melakukan suatu perubahan di sekitar yang dimulai dari hal sekecil apapun.

Terima kasih banyak untuk Bang Faisal Basrie atas kesempatan juga pelajaran yang telah diberikan. Juga para team FaisalBiem yang membuat acara gathering ini. Juga kepada teman-teman baru sesama pendukung yang sama-sama memberikan inspirasi kepada saya.

"Saya percaya pendukung saya cerdas. Dan mereka tidak perlu dicerdaskan untuk memilih siapa nantinya." - Faisal Basrie


I'm a proud 5% ! I'm a proud Jakartan! I'm a proud Indonesian!

Embrace! Embrace!



Well. Enough said, Sir.
Would anyone do a weirdo dance, avec moi?


Source : Google

Monday, July 16, 2012

Silence.



Silence is the new conversation.
This is what I believe in my whole life. People think that the only way to have a connection or conversation with other person is through words. Talk much. So other will hear you.
The fact is, silence is a conversation too.
Have you try to have a silent moment? Listen to the sounds of nature? Pay attention to someone's expression? Have a chit-chat with yourself in your heart?

Sigur Rós' new video 'Rembihnútur' will tell us what is the beautiful of the silence.
Watch it, and feel it.
You will know that the video is trying to deliver something to us only through the moving pictures.

Fyi, I cry every time I watch this video. It feels like I can feel the pain, and desperation of these people in this video.
I cry, even I don't know what Jonsi (the vocalist) sings in this song.
I don't even understand what the lyrics mean.
But I do feel it through the collaboration of pictures and music.


Below explanation is taken from www.promonews.tv.

The fourth video in Sigur Rós’s ongoing Valtari Mystery Film Experiment – the project where various filmmakers were given an open brief to make a video for a song from the new album – is by the band’s longtime collaborators and fellow countrymen Arni and Kinski.

“For the last twelve years meditation has been a way of life for us. Going within, releasing emotions, moving through negativity, judgment, discouragement, and the fears that are so often in the mind. Being able to move from the mind into the heart. This is what the music of Sigur Rós helps us to do and we use it as a tool in our meditation.
In meditation we are able to feel and move through our emotions allowing us to drop deeper within our hearts. From this depth of heart we are finding more acceptance, compassion, love, gratitude, passion, clarity, intuitive thinking and much much more. We hope this video will inspire you to do your part in elevating the consciousness of the planet in whatever way that may be.”
Peace and love, Arni & Kinski.


Well done, Sigur Rós. You have made it again.

***

Sunday, July 15, 2012

Sincerity Love.

Aku terdiam. Menatap foto yang terpampang di depan mataku. Rasanya ada sesuatu yang mencekikku dari dalam saat melihat dua subjek bersisian yang ada di dalam foto tersebut. Berkali-kali aku menelaah setiap kemungkinan yang berebutan hadir di pikiranku, hanya untuk sekadar menyangkal kenyataan yang ada.

Aku, yang pikirannya sedang kacau. Sedangkan kamu, duduk di sebelahku, terlihat tidak sabar menunggu komentar keluar dari mulutku.

"Carissa, gimana pendapat kamu?"

"Dia....cantik. Senyumnya manis."

"Dia memang manis. Tapi bukan karena itu aku tertarik sama dia. Dia baik dan lembut sekali. Khasnya perempuan yang keibuan deh. Dia juga perhatian, yang terasa tulus dan tidak dibuat-buat. Baru kali ini aku tertarik sebegininya sama seseorang."

"Kamu...suka sama dia?"

"Ngga. Tapi udah sayang."

....
Aku terkesiap mendengar pengakuanmu yang gamblang barusan. Baru kali ini aku melihat dirimu yang begitu tegas dan yakin akan kata-kata yang kau ucapkan. Matamu juga menyiratkan kesungguhan yang dalam saat menyatakan hal itu.

Sakit.
Kenapa udara di sekeliling terasa hilang? Membuat dada sesak.

"Car, kok bengong? Car? WOI!"

"Eh sorry, Lex."

"Gimana sih. Aku lagi cerita, kamu malah bengong. Jadi gimana menurut kamu? Should I go for her or not? Because I don't think she's interested with me like I am."

"Alex, kalau kamu memang yakin, kejarlah. Man gotta do what a man gotta do. Jangan hiraukan prasangka buruk yang ada. Jujurlah, tunjukkan saja cintamu sama dia. Karena kalau aku lihat dari foto ini, ada chemistry di antara kalian berdua. Rasanya....dia juga tertarik sama kamu....."

"Whoa, yang bener, Car?! That's what I want to hear now! Aku memang butuh dukungan dari orang terdekat, dan aku yakin kalau kamu orang yang tepat. Dukung aku dengan support dan doamu yang biasanya manjur itu ya! Hehe. You are truly my best friend, Car. Thank you!"

Kamu tiba-tiba memelukku dengan bersahabat. Sudah biasa aku merasakan pelukanmu, tetapi entah kenapa kali ini berbeda. Aku gemetar. Rasanya sudah tidak tahan. Kelenjar air mataku membuncah. Aku menangis tanpa suara. Menangisi perasaan di dalam yang aku tahu tidak akan pernah bisa dibebaskan.
Perasaan yang sepenuhnya akan dipenjarakan demi menjaga yang sudah ada. Demi senyum di wajah seseorang yang sangat berarti.

Aku, yang rela melakukan apa saja. Rela menukar apa saja. Hanya untuk kebahagiaan diberikan.

Friday, July 13, 2012

Proud of Yourself.



 "So the fact that I am me and no one else is one of my greatest assets. Emotional hurt is the price a person has to pay in order to be independent."
- Haruki Murakami







Di saat saya sedang merasa down ataupun tertekan, saya selalu mengulang rangkaian kata dari Mr. Haruki Murakami ; salah satu penulis favorit saya , seperti di atas. Selalu saya ulang berkali-kali di otak. Untuk sekedar mengingatkan betapa bisa menjadi diri sendiri sesungguhnya salah satu hadiah terindah dari Sang Pencipta.

Pernah merasa tidak puas menjadi dirimu sendiri? Merasa bahwa dirimu selalu lebih kurang, lebih buruk dari orang lain? Iri kepada siapapun yang kamu nilai punya segalanya?
Jujur, saya pernah.
Dan saya yakin kalian yang sedang kebetulan membaca ini, pasti pernah merasakan hal yang sama, even for only once in a lifetime.
Menurut saya, perasaan seperti ini manusiawi. Mengingat sifat manusia yang tidak pernah puas.

Saya ingin berbagi pengalaman sedikit mengenai pengalaman saya.

Dulu, salah satu sifat yang paling saya benci dari diri saya ialah sifat pendiam saya. Tidak pernah berani memulai pembicaraan ke orang yang belum saya kenal. Hal ini tentu saja mempersulit saya dalam mendapatkan banyak teman dan network yang luas.
Sifat ini masih berlanjut hingga di lingkaran pertemanan saya. Dimana saya tidak banyak berbicara dan lebih banyak memperhatikan, merespons pun ya hanya seadanya.
Saya benci sekali dengan diri saya yang seperti ini. Tidak jarang saya iri dengan orang lain, bahkan teman saya sendiri, yang supel, bisa sebegitu mudahnya berbicara, melontarkan lelucon, dan membuat orang lain tertawa. Kalau saya yang disuruh melucu? Yang ada orang di sekeliling saya diam seribu bahasa saking ga lucunya lelucon saya.

Saya terus merutuki diri saya yang seperti ini sampai pernah seseorang pernah bilang ke saya,
"You're a good listener, Carl. Kamu selalu diam. Tapi itu yang bikin orang-orang senang curhat sama kamu. Karena kamu cukup mendengarkan dan jarang merespons dengan judgement yang ga penting. Kamu itu ya berkata seadanya. Tapi itulah kadang yang kami butuh waktu curhat. Cuma butuh kuping dan bahu untuk bersandar. And for me, you're capable enough for it."
Akhirnya saya sadar bahwa Tuhan memang menciptakan setiap manusia dengan perannya yang berbeda untuk saling melengkapi. Bayangkan kalau di suatu sekelompok manusia semuanya bawel;bicara terus ga berhenti. Yang ada ribut karena rebutan bicara satu sama lain, dan maunya hanya didengarkan. I can't even imagine I live in a place like that.
Mulai dari sini saya mulai mencintai diri sendiri. Kalem, ga banyak omong. Karena tugas saya, ialah mendengarkan. Berhenti pura-pura jadi orang yang sok asik. Tetapi tidak sampai disitu saja. Saya tetap berusaha menggali potensi dari sifat pendiam saya ini, dimana ternyata saya lebih mudah mengekspresikan pikiran dan perasaan saya ke dalam bentuk tulisan. Saya mulai mecoba banyak menulis sehingga apa yang di dalam otak saya tidak terendap begitu saja.

Selain itu, saya dulu juga selalu menyalahi masa lalu saya. Keadaan dimana saya dibesarkan tanpa figur Ayah, yang membuat Ibu saya bekerja sekeras mungkin hanya untuk menghidupi keluarga yang saat itu keadaan materil terpuruk karena ditinggalkan oleh Suami dan Ayah tercinta.
Dengan keadaan Ibu yang bekerja dari pagi hingga malam, membuat saya terpaksa melakukan segala sesuatu sendirian. Keadaan uang yang pas-pasan membuat saya yang saat itu SD di sekolah yang notabene murid-muridnya merupakan orang berada, menjadi merasa terkucil karena jujur, minder dengan yang lain. Dimana yang lain diantar ke sekolah naik kendaraan pribadi (walaupun jarak rumah-sekolah termasuk dekat), saya hanya bisa berjalan kaki. Dimana yang lain bisa jajan ini itu karena diberi uang saku yang banyak, saya harus puas dengan bekal makanan yang saya bawa dari rumah. Saya yang dulu masih kecil dan terhitung labil, hanya bisa menyalahkan Ibu saya.
Tetapi seiring saya bertumbuh dewasa, saya malah bersyukur dengan keadaan masa kecil saya dulu. Karena dulu terbiasa hidup susah, sampai sekarang pun saya tidak pernah tertarik hidup mewah yang berfoya-foya. Karena dulu terbiasa melakukan apapun sendiri, saya menjadi orang yang mandiri sekarang. Jarang bergantung kepada orang lain kecuali memang urgent sekali. Bahkan di usia saya yang masih 19 tahun ni, sudah bisa mencari nafkah sendiri. Saya sangat bersyukur Ibu saya menggembleng saya dari kecil hingga tidak menjadi sosok manja sampai sekarang ini.

Itulah alasan kenapa waktu melihat penjelasan arti dari SONY VAIO E 14P "The Pure and Clear" yang berwarna putih dengan semburat garis birunya, saya langsung merasa bahwa ini cocok sekali dengan kepribadian saya. "Calm, Independent, and Free."




Yes, I am so in love with its colour. Melihat warna putih dan birunya yang begitu menenangkan seakan-akan membuat saya merasa seperti di atas langit. Bebas.
Jika saya punya kesempatan untuk membeli barang ini, saya tidak akan pikir dua kali go for it. Belum lagi untuk mempunyai laptop ialah salah satu mimpi saya. Karena lebih ringkas untuk menjalani hobi menulis saya dengan laptop yang bisa dibawa kemanapun, dibandingkan dengan komputer yang hanya bisa dilakukan di rumah saja.
Ide dan inspirasi muncul di saat dan tempat yang tidak terduga, bukan?

(Ingin coba dapatkan yang sesuai dengan kepribadianmu? Klik di sini.)


At the end, just be who you are. Karena Tuhan punya rencana sendiri dengan setiap rancangan-Nya. Dibalik dirimu yang selalu kamu rasa buruk, ada suatu kelebihan yang berbeda dari orang lain. Setiap orang itu unik. Dan keunikan tiap seseorang itu saling melengkapi. Jangan pernah berusaha menjadi orang lain. Karena sejatinya, orang yang tidak bisa mencintai dirinya sendiri, tidak akan bisa dicintai apa adanya oleh orang lain.


Embrace yourself. And be proud of who you are.


"We are beautiful no matter what they say. Words can't bring us down. We are beautiful in every single way. Yes, words can't bring us down." - Beautiful by Christina Aguilera

*** 

Thursday, July 12, 2012

One Day.

I have promised to myself, I will live in this place.

Iceland

Or at least, visit it for once in a lifetime? :)


Source: Google

Harapan Itu Masih Ada.

H+1 Pemilukada DKI Jakarta.
Euforia masih sangat terasa di kepala ini.


Ya, kemarin itu, tanggal 11 July 2012, pertama kalinya saya berkesempatan untuk ikut serta dalam pemilihan umum di Indonesia.
Awalnya saya tidak bersemangat dan biasa-biasa saja. Well, mungkin karena saya sudah sangat apatis dengan politik di negara ini. Tidak pernah saya tertarik ingin tahu dan ikut campur mengenai apapun yang berhubungan denan politik. Coba kalian tes saya dengan menanyakan apapun yang berhubungan dengan partai bla bla bla dan sebagainya, paling-paling hanya saya balas dengan kernyitan bingung dan cengengesan yang menandakan kalau saya tidak tahu. Tidak tahu dan tidak mau tahu. Karena toh saya pikir tidak ada gunanya saya peduli. Didengar juga tidak.

Tapi itu saya yang dulu.

Pandangan saya berubah semenjak saya sedikit-sedikit mengenal pasangan nomor 5 kemarin, @FaisalBiem atau Pak Faisal Basri dan Pak Biem Benjamin. Awalnya saya tidak tahu apa-apa mengenai 2 orang ini. Yang saya tahu Pak Biem ialah anak dari aktor kawakan Indonesia, Alm. Benyamin S. Sudah, hanya sebatas itu saja pengetahuan saya. Cetek memang.
Jujur saya bingung, kenapa linimasa twitter saya ramai sekali sih membicarakan pasangan ini, terutama Pandji Pragiwaksono yang memang waktu itu saya follow akun twitternya. Iseng-iseng, saya buka blog Mas Pandji karena memang saya suka sekali membaca blog-blog orang lain.
Mulai dari sini persepsi saya mulai berubah.
Tulisan-tulisan Mas Pandji mengenai pasangan FaisalBiem ini, jujur, menyentuh hati saya. Tulisan itu sederhana, tetapi entah kenapa terasa tulus di hati saya. Dan tulisan Mas Pandji pun menjadi gerbang pengetahuan saya yang lain.
Mulai dari sini saya coba googling siapa itu Pak Faisal dan Pak Biem. Saya baca tulisan-tulisan orang yang sudah mendukung beliau sejak awal di Blog-FaisalBiem, dan puncaknya saat saya menonton video-video program dan testimoni di Youtube Channel FaisalBiem. Dengan media-media ini saja, saya merasa sudah mengenal beliau. Karena apa? Karena saya merasa semua ini dibuat dengan tulus. Jika kita memang pintar, kita bisa membedakan karya mana yang dibuat hanya karena popularitas semata, atau karena tulus ingin menyebarkan kabar baik.

Saya jadi tahu Beliau adalah sosok yang pintar, tetapi tetap sederhana dan rendah hati. Beliau yang berani membuat gebrakan dengan independen. Beliau yang tegas. Beliau yang jujur dan tulus. Beliau yang percaya dengan kekuatan rakyat. Beliau yang peduli dengan pemuda Indonesia. Beliau yang mandiri, tetap berdiri di atas kaki sendiri. Beliau yang ini, beliau yang itu....
Astaga. Kita benar-benar butuh pemimpin yang seperti ini!

Karena Beliau lah saya berani terbuka dengan pikiran saya sendiri. Berani buka suara mengenai pilihan saya dan apa alasannya saya memilih beliau. Saya yang tadinya masa bodo dan mau bersikap netral saja, sekarang menjadi lebih peduli.

Karena Beliau lah, harapan dan kepercayaan saya untuk Jakarta, hidup kembali.

Mungkin kalian yang membaca ini tidak mengerti, kenapa saya mau panjang lebar menulis tentang kekaguman saya pada Beliau, padahal sudah lewat putaran 1 pemilukada, dan Beliau kalah dan ada di urutan keempat dengan persentasa quick count 5%.

Ini semua, karena saya bangga. Sangat sangaaattt bangga, menjadi bagian dari 5% tersebut.
Terserah orang lain mau berkata bahwa tulisan "saya bangga" itu hanyalah sekedar pembelaan dan penghiburan diri.
Kami, para pemilih 5%, merasa sudah jadi pemenang.

FaisalBiem memang kalah di pemilukada, tetapi perjuangan sebelumnya lah yang penting. Beliau sudah berani membuat gebrakan baru dengan tidak peduli pandangan sinis dan pesimis orang-orang di luar sana. Beliau sudah menggerakkan hati para rakyat, terutama pemuda untuk ikut andil dalam membangun kota dan bahkan negara.

Beliau memang kalah kali ini. Tetapi seperti yang Pak Faisal katakan kemarin,
"Kekalahan merupakan kemenangan yang tertunda."
Beliau terima kekalahan dengan tersenyum dan lapang dada. Beliau tetap menyemangati para tim-nya.
Dan Beliau juga berjanji akan tetap melakukan perubahan yang baik di kota ini. Karena dia sangat mencintai kota ini. Negara ini. :')

Terima kasih banyak untuk Pak Faisal dan Pak Biem yang sudah mengajarkan banyak hal kepada saya, dan orang-orang lain di luar sana.
Kami akan selalu percaya pada Bapak. Mendukung Bapak. Berada di belakang Bapak.

Harapan itu, masih ada.
Berdaya bareng-bareng tetap tertanam di hati.
Hidup nomor 5! Hidup 5%!

Dan, Salam Independen!
***

Sunday, July 8, 2012

Jakarta Untuk Warga.


Ditulis oleh Pandji Pragiwaksono


Waktu itu saya masih kelas 1 SMP, masih optimis, penuh semangat, idealis dan tidak punya anggapan buruk pada dunia..
Saya duduk melantai di pinggir lapangan basket, sambil nonton senior senior bermain basket.
Mungkin semalam hujan, soalnya di beberapa area lapangan ada genangan air. Termasuk salah satunya di dekat saya.
Pada satu waktu, bola basketnya memantul dari ring dan jatuh di genangan air dekat saya. Airnya terciprat dan wajah saya kena.
Teman teman saya ketawa, sayapun ketawa, menertawakan kesialan itu..
Senior saya tertawa sambil mengambil bola basket tadi, tapi kemudian bolanya dgn sengaja dipantulkan ke genangan tadi, dan lagi, wajah saya kena cipratan
Kali ini, saya kaget dan sedikit marah karena dia melakukan itu dengan sengaja.
Senior saya, melihat ketidak sukaan di wajah saya langsung berteriak keras, sengaja menarik perhatian teman temannya, “Nggak suka?? Ha? Nantang?”
Tiba tiba saya dikerumuni para senior, dan setelah itu mereka menimpuki tubuh saya dgn sejumlah bola basket
Mungkin 3-4 bola basket ditimpuki berkali kali ke tubuh saya
Saya ingat sekali, ketika terjatuh di lantai sambil melindungi tubuh dari siksaan itu, saya melihat ke sekeliling…
Teman teman saya berdiri dan hanya melihat.. Tidak ada yg membantu..
Takut mungkin, atau tidak peduli..