Friday, September 28, 2012

30 Detik yang Abadi.

Courtesy: www.thirtysecondstomars.com
Rasanya merinding setiap saya memutar kembali memori tanggal 22 Juli 2012 di Pantai Karnaval Ancol pada saat itu. Pertama kalinya saya menyaksikan secara langsung penampilan 30 Seconds To Mars di atas panggung Indonesia. Dan menurut saya, inilah salah satu kenangan konser terbaik yang saya miliki.

Saya bukan penggemar berat musik rock/alternative rock/progressive rock atau apalah itu yang mereka sebut genre dari lagu-lagu 30 Seconds To Mars. Sedikit sekali jenis musik seperti ini yang bisa bersahabat dengan telinga saya. Tetapi saat masih duduk di bangku SMP, pertama kalinya saya melihat video klip lagu yang termasuk membuat besar nama mereka, “The Kill”, saat itu juga saya langsung jatuh cinta dengan mereka. Bukan karena tampan wajah dari sang vokalis, Jared Leto (karena banyak sekali wanita kepincut dengan band ini dikarenakan alasan fisik sang vokalis). Tetapi lebih karena musik dan video mereka, yang entah kenapa selalu membawa suatu semangat tersendiri buat saya. Mungkin karena dulu saya masih agak-agak “emo” kali ya. Ehehehe.

Sejak saat itulah saya mulai menekuni lagu-lagu band yang sekarang beranggotakan tiga orang ini.

Dan ketika mengetahui bahwa mereka adalah salah satu line-up besar di Java Rockin’Land 2011, rasanya nafas saya habis selama 30 detik itu juga. Saya harus nonton, pikir saya waktu itu. Mau bagaimanapun caranya, saya harus nonton.

Apapun saya korbankanlah waktu itu. Uang yang pas-pasan dimana anak baru lulus sekolah ga pegang uang banyak dan akhirnya saya habiskan untuk membeli tiket, juga merelakan gaji dipotong demi mendapat izin tidak masuk kantor dikarenakan saat itu belum dapat jatah cuti karena baru 2 bulan bekerja. Banyak yang bilang saya bodoh dan buang-buang uang pada saat itu. Tapi, peduli apalah. Kita tidak pernah tahu kan apakah nantinya ada kesempatan kedua yang datang. Saya tidak mau menyesal nantinya karena tidak bisa nonton musisi kesukaan saya seumur hidup.

Lagipula, it is all worth it for music. (Prinsip aneh buatan sendiri yang masih saya pegang teguh sampai saat ini).

Dan benar, saya tidak menyesal sama sekali mengorbankan ini itu untuk menonton mereka.
Jared Leto, Shannon Leto, dan Tomo Milicevic benar-benar tampil sangat maksimal dan memuaskan pada malam itu. Bulu kuduk saya otomatis berdiri sewaktu lighting panggung dimatikan lalu lagu pertama yang menjadi intro konser pada malam itu, “Escape” mulai berkumandang. Highlight of that moment: waktu semua penonton serentak bernyanyi pada bagian lirik “THIS IS WAAAARRRR!” sambil mengepalkan tangan ke atas. Gila. Parah. Merinding. Saya sampai ga tahu lagi mau nulis apa buat menunjukkan bagaimana perasaan saya pada saat itu. Ini baru lagu pertama lho.

Belum selesai saya dibuat merinding, saya langsung mendengar suara musik yang sangat familiar di kuping saya. Sesaat itu juga gebukan drum yang sudah saya hapal sekali mulai menggebrak masuk. Ya, lagu kedua, “A Beautiful Lie”. Koor penonton pun membahana sepanjang lagu. Tampilan music video lagu tersebut di layar panggung, yang diambil di daerah Arctic (kalau ga salah) juga menambah indah situasi saat itu.

Satu kesimpulan yang sudah bisa saya ambil pada saat itu: musik mereka ga jauh beda dengan dari yang di dalam recording. Bahkan jauh lebih baik. Terutama Jared Leto, kekuatan suaranya benar-benar memukau saya.

Lagu-lagu berikutnya pun digeber secara kencang oleh trio ini. “Attack”, “Search and Destroy”, semua orang ikut bernyanyi sepanjang lagu-lagu tersebut. Ah ya, dan di lagu “Search and Destroy”, Jared memberhentikan lagu di tengah dan menunjuk satu penonton untuk naik ke atas panggung. Lucunya, naik satu perempuan yang sepertinya bukan orang yang ditunjuk. Dan respon Jared adalah, “No. Get the fuck out there”. Hahaha! Inilah, Jared Leto yang dikenal ‘galak’! Barulah setelah itu naik orang yang benar. Ia diminta untuk berteriak menyapa “Hello Indonesia!!!”. Setelah itu barulah lagu dilanjutkan kembali hingga selesai dengan klimaks.

Daaann…berkumandanglah track favorit saya di album terakhir mereka. “This is War”, yang (untungnya) tetap digabungkan dengan “100 Suns”, sama persis dengan yang ada di dalam album.

”A warning to the people,
The good and the evil,
This is war.”

“I believe in nothing
Not the end and not the start
I believe in nothing
Not the earth and not the stars..”

Bagi saya, lirik kedua lagu tersebut seperti mempunyai arti tersendiri. Seperti sama-sama mengajak kita untuk berhati-hati dan berperang dalam hidup sendiri, baik untuk kita orang yang (merasa) baik, ataupun jahat. Eh tapi, itu menurut saya sih.
Baru saja dibuat merenung sedikit di karya ‘seratus matahari’, penonton langsung digeber kembali dengan salah satu anthem dari album This Is War mereka, yaitu “Vox Populi”. Lagu yang pada aslinya merupakan kerja sama antara Echelon (sebutan pecinta 30 Seconds To Mars) dengan sang band pun, berhasil membuat koor penonton kembali membahana, mengisi bagian para Echelon terpilih. “This is a call to arms! Gather soldiers! Time to go to war!”. Asli, saya berasa diajak ikut perang saat itu juga pada saat semua bernyanyi bersama. Dan seperti biasa, bulu kuduk berdiri,

Lagu pengantar perang pun selesai. Seluruh personil masuk ke backstage, meninggalkan sang drummer yakni Shannon Leto sendiri di atas panggung. Ia mengambil gitar, lalu memainkan musikal ”L490” dengan indah. Kali ini saya memejamkan mata untuk menikmati apa yang ada. Saat itu juga, saya merasa sangat syahdu. Pengalaman ini terlalu indah untuk dirasa.

Masih ingin memanjakan para penggemar, Jared pun muncul dan mengambil gitar menggantikan posisi sang kakak. Dengan menyenangkan ia berturut-turut membawakan ”From Yesterday”, ”Alibi”, dan ”The Kill” secara akustik. Saya yang kebetulan berdiri di tengah depan pagar pembatas panggung pas di depan Jared, dengan lelah menyandarkan tangan dan kepala saya di pagar sambil menikmati suara indah Jared di depan muka saya.

Saya perlu bilang lagi ga, kalau koor penonton juga membahana di 3 lagu akustik tersebut?

Dan saya menyempatkan diri memperhatikan keadaan sekitar mumpung lagu yang dibawakan lagi tenang. Lihat ke kiri, belakang, kanan...

Astaga.
Lautan manusia.
Baru kali ini melihat penonton sebanyak itu.
Seperti biasa, saya merinding.

Untungnya pentas akustik ini segera selesai, karena badan saya yang sebenarnya sudah kelewat lemas dan lelah dikarenakan digencet sana-sini sama banyak orang, butuh bergerak-loncat-jejingkrakan lebih banyak agar rasa lelah tidak terlalu dirasa.

”Hurricane” pun lalu digempur oleh ketiga-manusia-yang-sudah-berumur-tapi-tetap-energik ini. Dan dilanjutkan oleh ”Closer To The Edge” yang asli, keren parah. Jared Leto muncul dengan memakai bendera merah-putih yang besar. Berlari dari ujung panggung ke ujung lainnya dengan bendera Indonesia di pundaknya. Entah kenapa hati saya berdesir melihatnya. Terselip rasa haru dan bangga tersendiri melihat musisi kesayangan kalian menaruh respek terhadap negara kalian. Di lagu ini pun Jared kembali mengajak salah satu penonton lelaki untuk naik ke atas panggung dan bernyanyi bersama. ”Closer to the edge... NO! NO! NO! NO!” terus diulang berkali-kali walaupun alat musik sudah berhenti dimainkan. Bayangkan sajalah, kamu dan ribuan orang bernyanyi—berteriak di tempat yang sama sambil mengepalkan tangan kencang-kencang ke langit. Bahagia membuncah di dada rasanya. Ini serius, ga berlebihan.

Seperti tidak rela saat lagu tersebut selesai. Mau mengulang kembali rasanya bernyanyi seperti itu.

Setelah itu, ketiga personil ini masuklah ke backstage. Dan setiap orang otomatis langsung panik dan lalu berteriak meminta encore. ”We want more!! We want more!!!!”. Saya yang sudah yakin mereka pasti kembali lagi ke atas panggung, diam saja menunggu saat itu tiba.

Dan benar saja, dengan serentak mereka kembali ke atas panggung.

Jared yang lalu kembali menyapa para penggemarnya, dan melihat ke sekeliling. Saya perhatikan, para crew pun juga sibuk seperti memilah-milah sesuatu. Saya langsung ngeh pada saat itu. Ah, ini pasti mereka lagi memilih segerombolan orang-orang yang akan naik ke atas panggung! Saya juga sudah bisa menebak lagu apa yang akan menjadi encore mereka. Penonton yang juga sudah ngeh akan situasi, mulai membuas pada saat itu juga. Semua orang berebutan memanjat pagar pembatas untuk bisa naik ke atas panggung. Dan saya pun ikutan menjadi buas berusaha keluar dari pembatas untuk mencapai panggung. Serius, keadaan waktu itu rusuh kebangetan.

Namun, usaha orang tekun memang selalu akan membawa hasil.
Iya, saya berhasil berdiri di atas panggung bersama musisi-musisi kesayangan saya yang bergabung dalam satu, 30 Seconds To Mars!!
Itu rasanya mau teriak kegirangan pada saat itu juga. Saya yang kemarin hanya bisa berandai-andai bisa seperti ini setiap menonton video rekaman konser mereka, akhirnya bisa berdiri di atas media yang sama dengan Jared, Shannon, Tomo.

Gila, mimpi apa saya semalam?

”This next song is called ’Kings and Queens’!!!”, teriak Jared Leto pada saat itu juga yang seketika memancing teriak histeris hamper seluruh penonton. Saya pun juga otomatis loncat-loncat—teriak—nyanyi-nyanyi sepanjang lagu, tidak seperti kebanyakan orang beruntung di atas panggung yang malah sibuk merekam wajah tampan Jared, Shannon, dan Tomo. Mungkin saya terdengar sinis, tapi mereka yang sibuk sendiri tersebut tidak tahu bagaimana caranya menikmati moment langka yang ada. Peduli apalah. Yang penting saya menikmati rasa bahagia luar biasa yang saya rasakan pada saat itu. Tidak pernah terlewat di pikiran saya sebelumnya untuk bisa berbagi panggung dengan siapapun musisi kesayangan saya.

“We were the kings and queens of promise!
We were the victims of ourselves!”

Dan dengan berhentinya lagu tersebut, berakhirlah sudah ‘surga’ saya pada saat itu.

Hari itu benar-benar salah satu hari yang tidak akan pernah bisa saya lupakan. Ah, bahkan saya pun sekarang masih tersenyum saat menulis tulisan ini, salah satu kenangan musikal terindah.
Tidak menyesal saya menghabiskan receh-receh di dalam dompet saya dan rela hidup ’ngirit’ sampai tanggal gajian di akhir bulan. Tidak menyesal saya dipotong gajinya hanya demi mantengin venue dari siang untuk bisa dapat spot menonton yang terbaik. Rasa lapar, haus, lemas, lelah yang dirasa selama acara pun terbayar lunas oleh apa yang telah saya alami.

Uang dapat dicari. Lapar, haus, dan segala temannya bisa dihilangkan.
Tapi pengalaman dan kenangan tidak akan bisa dibeli.

Saya masih ingat perkataan Jared Leto pada saat di tengah konser yang kira-kira seperti ini, ”We promise you, we’ll be back to Indonesia again!”.
Ya, saya harap mereka tidak melupakan janjinya tersebut. Dan saya berharap, pada saat mereka datang kembali ke negara ini, dengan konser tunggal mereka.

22 Juli 2011. 30 detik yang terasa abadi. 

***


Friday, September 14, 2012

Halo, Yah.

Sebelumnya, tidak apa kan aku memanggilmu 'Ayah' ? Rasanya panggilan itu terasa lebih nyaman di lidah ini. Dan juga, terasa lebih intim. Ah, aku yakin dirimu juga tidak akan merasa keberatan. Toh kita belum pernah saling memanggil sebelum ini. Aku baru sadar, kalau ini pertama kalinya juga aku mengajakmu berbicara.

Yah...
Untuk kesekian kalinya aku memandangi satu-satunya fotomu yang kupunya . Untuk kesekian kalinya pula aku merasakan sesak yang sama. Apa kabarmu di sana? Meskipun aku tahu pasti ayah selalu baik-baik saja, ingin sekali saja aku mendengar langsung bibirmu yang menjawab.

Iya, Yah. Aku kangen. Kangen sekali.

Sampai sekarang aku masih heran. Bagaimana bisa kita rindu akan sesuatu yang bahkan belum pernah kita lihat sekalipun? Iya, sekalipun.

Berkali-kali aku meminta pada Dia untuk sekali saja mempertemukan kita, meski hanya bisa di dalam mimpi. Apakah Tuhan sudah menyampaikannya ke Ayah? Karena sampai sekarang, dirimu masih belum juga datang...

Kenapa dirimu belum pernah datang? Apakah rindu ini hanya dirasa oleh sepihak?

Ayah tahu tidak? Sudah segudang cerita yang siap tumpah nanti saat aku punya kesempatan berbicara denganmu. Cerita tentang pekerjaanku, impian, sahabat-sahabatku yang menakjubkan, ribut kecil yang selalu saja terjadi antara aku dengan Mama ataupun Kakak, tumpukan koleksi CD dan CD lainnya yang ingin kubeli, kekhawatiranku mengumpulkan uang untuk menonton konser musisi favoritku di negeri sana, dan masih banyak lagi. Siap-siap saja nanti telingamu lelah mendengar segala ocehan panjang lebarku. Hahaha. Iya, anakmu yang satu ini memang cerewet sekali. Sudah turunan kali ya.

Ayah...
Andaikan dirimu tahu, betapa selalu aku merasa iri yang sangat setiap melihat anak perempuan yang sedang berjalan santai dengan ayahnya. Memeluk erat tangan kekar di samping mereka, seakan-akan tidak rela untuk melepasnya. Kadang aku berandai-andai jika dirimu masih ada di sini, apakah kita berdua juga akan seperti itu? Menjadi duo super kompak atau duo yang sering ribut? Mengingat cerita Kakak tentang dirimu yang sangat galak dulu. Ah, rasa-rasanya aku tidak peduli mau segalak apapun dirimu.  Karena aku yakin, kamu tetap sosok Ayah paling baik sedunia.

Aku tersadar, aku selalu ingin merasakan bagaimana rasanya dipeluk olehmu.

Entahlah. Aku sudah kehilangan kata-kata. Kangen sekali, Yah. Kangen kangen kangen kangeeeeennnnn luar biasa.

Tidak akan pernah lelah aku berdoa kepada Tuhan untuk menyuruhmu datang menghampiri mimpiku. Tidak akan.
Jadi maukah? Sekali saja? Dirimu mewujudkan pintaku ini?

Sebenarnya aku merasa bodoh menulis surat ini. Menulis surat kepada yang tidak ada. Tapi entah mengapa aku merasa dirimu pasti sedang membaca ini juga. Komyol, mungkin. Tapi biar saja. Rindu memang buta.

Sebentar lagi aku akan memejamkan mata. Menunggu jawabanmu. Tidak apa jika tidak bisa malam ini. Masih ada beribu malam lainnya jika Tuhan mengizinkan. Untuk Ayah, aku sabar menunggu.

Selamat malam, Yah.



Peluk erat,
Anakmu. Yang sedang diserbu jutaan rindu.

Bittersweet Symphony---side B


Ah, akhirnya aku melihatmu datang lagi. Seperti biasa, dirimu langsung menuju ke tempat favoritmu. Di kursi, pojokan, membelakangi speaker kecil di kafe ini. Sudah beberapa bulan ini aku memperhatikanmu melakukan hal yang sama setiap kamu mengunjungi tempat ini. Duduk di kursi yang itu-itu lagi, memesan kopi Mandailing dalam French press, lalu bersendau gurau dengan pria yang selalu menemani duduk di hadapanmu. Hampir setiap hari. Maka dari itu, rasanya ada yang aneh sudah seminggu ini tidak melihatmu ada seperti biasa. Seperti ada yang hilang. Aku rindu melihatmu, mungkin.

Dan ada yang lebih aneh dari itu. Kali ini, kamu datang sendirian. Setelah satu minggu menghilang.
Bagaimana bisa hal yang sudah dilakukan selama berbulan-bulan tiba-tiba saja berubah? Sebut aku orang yang sok tahu, tapi aku tahu kamu bukan orang yang mudah melenceng dari jalur yang sudah biasa kamu jalani.

Aku kembali memandangimu. Menu yang kamu pesan masih sama. Kopi Mandaling di dalam French press tanpa gula sama sekali. Kulihat kamu menyesap cairan hitam pekat itu secara perlahan, memejamkan mata untuk menikmati rasa pahit adiktif di setiap tetesan yang kamu minum. Inilah salah satu alasan mengapa aku senang memperhatikanmu. Caramu menikmati segala sesuatu yang menyentuh indera perasa dan pendengaranmu, entah mengapa membiusku. Bahkan tidak jarang aku mendapatimu tersenyum, memejamkan mata lalu menggerakan kepala dan tangan sesuai irama tiap mendengar lantunan musik kesukaanmu terdengar mengalun di belakang telingamu. Hanya melihatmu seperti itu saja sudah bisa membuatku merasa damai. Ternyata masih ada manusia yang menghargai sesuatu sekecil apapun itu.

Tetapi kali ini aku tidak merasa senang. Ada yang berbeda hari ini. Kamu tidak lagi menganggap hal-hal kecil itu sebagai sesuatu hal yang sakral. Kamu memang menikmati rasa kopi yang sedang kamu minum sekarang, tetapi aku bisa melihat pandanganmu yang kosong. Dan, mana gerakan kecil kepala dan tanganmu saat mendengar lantunan lagu kesukaanmu? Mana senandung merdu yang biasa keluar dari mulutmu? Padahal aku sudah sengaja membuat satu playlist khusus berisi lagu-lagu kesukaanmu agar bisa kumainkan tiap kamu datang ke kafe ini. John Mayer, itu salah satu musisi kesukaanmu, bukan? Mengapa kamu hanya diam saja? Mengapa tidak terlihat reaksi sedikitpun? Kamu hanya terus-terusan menenggak kopi itu.

Tiba-tiba kamu menundukkan kepalamu. Badanmu bergetar tidak karuan. Isakan sayup-sayup terdengar, menggantikan senandung merdu.
Pertanyaan ‘mengapa’ ku pun terjawab. Tapi bukan reaksi seperti ini yang ingin aku lihat.

Kamu menangis. Ada apa?

Kulihat kursi di depanmu yang biasanya terisi, sekarang ini kosong. Sekejap aku pun mengerti apa yang membuatmu menjadi berbeda hari ini.
Sebegitunya kah rasa sakitnya? Sampai kamu terlihat seperti ini.

“Eh lo tahu kan pelanggan kita, yang hampir setiap hari datang ke kafe? Seminggu yang lalu dia kecelakaan di dekat kafe waktu menuju ke sini….”
“Serius? Yang selalu datang sama perempuan yang duduk di pojokan itu kan? Terus gimana tuh?”
“Gue denger sih…saking parah kejadiannya, orangnya ga bisa diselamatkan lagi. Makanya sekarang dia cuma datang sendiri. Kasihan…”

Sekarang aku mengerti. Ternyata memang sebegitunya rasa sakit yang kamu rasa. Hingga membuatku miris melihatmu hancur saat ini.

Mungkin aku harus melakukan sesuatu.

*

“Ini, cokelat panas. Selalu terbukti dapat menenangkan hati dan pikiran. Jangan terus-terusan mengkonsumsi kopi. Sebagai penikmat kopi, seharusnya kamu tahu kandungan kaffein dalam kopi dapat membuat jantung semakin berdebar dan membuat perasaan menjadi tidak stabil.”

Kamu hanya memandangiku kosong, dan sedikit bingung. Jantungku rasanya berdetak jauh lebih kencang saat melihat matamu—di jarak sedekat ini. Bagaimana aku tidak berdebar seperti ini kalau biasanya aku hanya memandangimu dari jauh.

Melihat kamu tetap diam tidak menggubris kata-kataku, aku putuskan untuk melanjutkan pembicaraan kembali. “Sudah lama aku tidak melihatmu datang ke kafe ini……,” aku terdiam sejenak mengumpulkan keberanian untuk melontarkan kata-kata selanjutnya, “dan sudah kuduga, penyebab absennya kamu di tempat ini adalah orang yang biasa duduk di kursi aku duduki sekarang ini, dan sekarang dirinya malah tidak ada.”

Aku melihat dirimu terkesiap mendengar kata-kata gamblangku. Pandangan mata kosong itu berubah seketika menjadi tatapan kaget bercampur marah, sedih, entahlah. Yang pasti aku tahu, aku baru saja menyentil hal paling sensitif yang dari tadi terus kamu simpan rapat-rapat di dalam.

“Maaf, tapi saya tidak suka cokelat. Saya tidak minum minuman manis.” Akhirnya, ada juga kata-kata yang keluar dari mulutmu. Walaupun jelas sekali terdengar ketus. Kalimat penolakan. Dan aku tahu kamu marah.

Terserahlah kamu mau anggap aku orang tidak tahu diri, yang tiba-tiba datang lalu berkata seenaknya padahal tidak mengenalmu sama sekali. Aku tidak peduli. Aku hanya tidak ingin melihatmu dengan keadaan tadi.

“Tetap, kamu minum saja. Gratis kok.” Aku sebenarnya takut kamu marah lalu menyiramku dengan cokelat panas itu. Tapi, aku tahu, aku sudah tidak bisa berhenti di sini.

“Mungkin kamu memang tidak suka minuman manis. Tetapi terkadang kamu harus berani melakukan hal yang tidak kamu sukai demi memulai lembaran baru di dalam hidup. Jangan menimpa sesuatu yang pahit dengan hal yang pahit pula. Pulihkanlah kepahitan dengan sesuatu hal yang manis.”

Aku rasa, ini cukup. Melihat kamu yang hanya terdiam saat ini, membuatku bersyukur cangkir di atas mejamu tidak melayang ke kepalaku. Entah apa yang ada di pikiranmu saat ini. Semoga saja kamu memikirkan perkataanku tadi. Aku hanya bisa tersenyum melihatmu diam. Yah, sudah saatnya aku pergi dari meja ini.

Aku pun bangkit dari kursi ini. Rasanya berat duduk di sini seakan menggantikan orang tersebut.

“Kehilangan itu, memang sakit rasanya. Tapi asal kamu tahu, sakit yang kamu rasa sekarang mungkin sama rasanya dengan yang aku rasakan sewaktu menunggu kehadiranmu yang lama tidak pernah datang di tempat ini. Dan pada akhirnya kamu datang, aku malah harus melihatmu tertekan seperti ini.” Aku hanya tersenyum miris saat mengatakan hal itu. Aku juga perlu melepaskan beban yang aku rasa, kan? Aku menghela napas. Kali ini benar-benar cukup. “Sudahlah, minumlah cokelat ini. Kamu butuh sesuatu yang manis untuk membuatmu tersenyum. Lagipula seharusnya kamu bangga menjadi pelanggan pertama yang mencicipi cokelat panas racikan sang pemilik kafe.”

Aku benar-benar tidak akan mengusikmu lagi. Memandangimu dari jauh seperti biasa saja, itu sudah cukup bagiku. Aku hanya berharap, kamu tidak lagi berantakan seperti tadi. Tidak lagi merasakan beban setiap duduk di kursi favoritmu, minum minuman kesukaanmu, dan mendengar lagu kesayanganmu. Tidak lagi menatap pedih kursi kosong di depanmu. Tidak ada lagi air mata yang jatuh menggantikan cairan hitam pekat di dalam cangkir.

Dan mungkin, suatu saat nanti, jika kamu sudah siap memesan secangkir cokelat panas, aku akan berani duduk di hadapanmu. Melupakan apa yang terjadi pada hari ini, dan memulai sesuatu yang baru.

Thursday, September 6, 2012

Happy Wrinkles, Buddy.

This writing is written as a birthday present for one of my best men. Cheesy alert! Do not read it if you don't like the cheesy-yet-sweety thingy.
----------------------

Don't mind our expression. This is exactly what teens do nowadays.

Louis Bernardus, nama lengkapnya. Kerap kali dipanggil 'Ucup' oleh para teman dan sahabatnya. Jangan tanya sama saya kenapa panggilan yang jauh sekali dari nama aslinya tersebut bisa-bisanya tercipta. Bahkan pertama kalinya saya kenal dengan lelaki ini, saya tahunya ya namanya Ucup.

Pertama kalinya saya berkenalan dengan dirinya... Lupa pastinya kapan. Yang pasti sewaktu itu kami sama-sama masih duduk di bangku kelas 2 SMA. Tidak, kami tidak satu sekolah. Dikarenakan kami berdua tergabung di suatu komunitas paduan suara yang anggotanya terdiri dari sekolah homogen laki-laki dan sekolah kejuruan pariwisata yang cukup dikenal di Jakarta. Dimulai dari pertemuan di tiap latihan rutin setiap satu minggu sekali, latihan yang makin rutin tiap akan menghadapi lomba ataupun pentas, atau pun hanya sekadar ngumpul-ngalor-ngidul biasa, membuat saya dengan dirinya dan teman-teman yang lain menjadi semakin dekat. Alur pertemuan yang mungkin terkesan biasa saja, tapi bagi saya hal ini sangatlah berharga dan patut untuk dikenang. Bahkan saya tidak bisa berhenti tersenyum saat menulis ini.

Tidak ada yang tahu kenapa saya bisa berteman dekat manusia satu ini. Memang saya, dan satu kawan perempuan lainnya (tidak usah disebutkan lah ya siapa namanya), memang sudah menganggap dirinya sebagai sahabat paling dekat. Catat: Sahabat, sudah bukan teman lagi. Apalagi buat saya yang notabene anaknya tidak mudah berteman dengan orang lain, punya satu sahabat seperti ia pun rasanya penting sekali.

Entah apa yang bisa membuat saya nyaman berteman dengan dirinya. Dilihat dari persamaan, jauh berbeda sekali. Saya orangnya jatuh-cinta-gedubragan sama yang namanya musik dan berusaha untuk selalu update berita musik terkini, lah dia malah bisa nih tidak tahu musisi yang mungkin hitungannya masih masuk mainstream. Saya yang anaknya pemalas dan asal-asalan, bagaikan bumi dan langit dengan dirinya yang rajin, berwawasan luas, dan tertata hidupnya. Saya yang ini, dia yang itu. Saya yang begini, dia yang begitu. Kebanyakan ga nyambung.

Tapi itulah gunanya seorang teman. Saling memperbaiki, mengisi, dan melengkapi.

Satu hal yang selalu saya sukai dan coba ikuti dari dirinya: Sosok yang optimis.
Mau lagi sesusah apapun, sedepresif bagaimanapun, ia selalu berusaha optimis. Mengambil sisi positif dari segala segi kehidupan. Karena itulah, terkadang di titik terendah saya pun, ia selalu bisa membuat saya berusaha bangkit kembali.
Ia juga satu-satunya, manusia yang menganggap mimpi muluk saya bukan merupakan hal yang mustahil, dan pasti akan bisa saya gapai. Bisa memiliki orang yang mempercayai mimpimu, apalagi itu adalah orang terdekatmu, buat saya merupakan berkah yang tidak terhingga.

Karena itu, saya ingin mengucapkan banyak banyak banyak terima kasih untuk dirinya. Terima kasih untuk sudah menjadi sahabat yang baik. Terima kasih untuk telinga yang selalu tersedia untuk mendengarkan. Terima kasih untuk tangan yang selalu sigap membantu untuk bangkit kembali. Terima kasih untuk otak yang kian memberikan segala wawasan baru. Dan, terutama, terima kasih untuk hati yang selalu percaya. Sekali lagi, terima kasih.

Mungkin saya tidak bisa membalas apa yang sudah diberikan. Kali ini, saya hanya bisa menaikkan doa-doa kepada Yang Di Atas, agar di umurnya yang bertambah hari ini hingga hari-hari selanjutnya, Beliau akan memberikan hal-hal yang turut menciptakan seutas senyum di atas wajahnya. Keinginanku hanya satu, dirinya selalu merasa kebahagiaan yang berlimpah.

Semoga kita selalu begini adanya. Walaupun jarak memisahkan (cuma Cibubur-Jakarta sih), kesibukan menghadang, tetapi apa yang ada tetap terjaga.

Sayang sekali dirinya saat ini tidak berada di lingkupan yang sama dengan saya dan teman-teman. Kalau saya dan satu kawan perempuan punya sayap, mungkin kami berdua akan terbang sekarang juga ke tempat dirinya merayakan hari jadinya hari ini. Lumayan, bisa merayakan ulang tahun seorang sahabat ditemani suara alam yang masih kental terasa.

Saya yakin ia pasti senyum-senyum sendiri ataupun malah bergidik geli saat membaca tulisan cheesy ini. Tenang saja, tulisan ini hanya akan saya buat sekali dalam seumur hidup. Demi menghindari hal-hal tidak diinginkan, seperti misal dirinya yang akan terbang melambung tinggi saking senang karena sudah dipuji (berlebihan). Lagian saya juga terpaksa bikin tulisan ini, toh saya ga mungkin ngomong begini manis langsung ke dirinya.

Sekali lagi, selamat menginjak usia sembilan-belas-tahun, kawan! Setahap menuju menjadi seorang dewasa (walaupun menurut saya kawan yang satu ini sudah cukup dewasa).

Saya, dan teman-teman lain, selalu menyertaimu! (iya, mau ngomong 'sayang' tapi ngga deh, tulisan ini sudah cukup cheesy untuk ditambah kata itu lagi)


Pelukerat,tendang,tonjok,
Si huruf C dari ABC (Ucup pasti ngerti lah yaaa)

***

"Dear, my 2 (most) favourite bands..."


The Trees And The Wild, ESPOSE 2012, Bandung
Sigur Rós, SF Outside Lands 2012

Still can't believe I will see you both at one event. On the same stage.
I think I'm going to cry. Cry in my happiness. (No, I'm not overacting. This is real. You guys just don't understand how much I adore their music.)

It's gonna be a spiritual journey while watching your music LIVE at the same time.

I am so excited! See you on 25th November 2012 at Urbanscapes Festival !



With teary eyed,
Your hardcore admirer.

Bittersweet Symphony---side A

Aku mendapati diriku kembali duduk di tempat ini.
Di kursi yang sama seperti sebelum-sebelumnya.
Pojok ruangan, meja untuk dua orang, membelakangi kasir dengan speaker tepat di belakang telinga.
Tempat ini juga masih sama.
Jumlah meja dan kursi yang masih statis, lukisan-lukisan terpampang di dinding yang sudah aku hapal letak dan namanya, buku-buku untuk dibaca oleh pelanggan yang sudah semua aku lahap abis, dan para pelayan yang aku ingat betul wajah dan namanya begitupun juga mereka kepadaku.

“Mandailing coffee in french press, without sugar.”
Kupandangi senyum pelayan perempuan yang masih sama ramahnya, menyatakan menu yang akan ia buat.
Ya, bahkan mereka tidak perlu bertanya lagi karena sudah hapal kebiasaanku.
Kubalas ia dengan senyum seadanya di wajahku, sekaligus memberikan tanda padanya untuk segera berlalu menyiapkan pesananku.

Kopi. Hanya itu yang sangat kubutuhkan sekarang.

Sayup-sayup terdengar suara musik mengalun dari speaker di belakang telingaku. Akupun secara otomatis tersenyum mendengarnya. Bahkan musik di tempat ini pun masih sama.
Masih sama dengan saat pertama kali aku menjejakkan kakiku di tempat ini.

Segalanya masih sama. Apa yang berbeda hanyalah, saat ini, kursi di hadapanku, kosong. Tidak ada yang menempati.
Tidak ada kamu. Orang yang mengenalkanku pada tempat ini.
Sesuatu bergemuruh keras di dalam dada saat memandangi kursi kosong tersebut.
1…2…1…2…tarik napas, hembuskan perlahan, ulangi lagi. Aku harus tenang. Toh tujuanku ke sini kan untuk bersantai.

Atau lebih tepatnya, untuk mengisi kekosongan diri dengan tetap melakukan aktifitas yang biasa aku lakukan bersamanya.

“Silahkan, Mandailing coffee-nya. Hati-hati masih panas. Jika memerlukan bantuan, bisa langsung panggil saya atau pelayan lain yang bertugas. Selamat menikmati”. Deretan kalimat dari pelayan perempuan yang tadi melayaniku membuyarkan lamunanku. Untung saja dia cepat datang dengan kopi yang kupesan. Aku sudah bilang kan aku sedang sangat butuh kopi ini?

Kudiamkan beberapa menit kopi di dalam french press di hadapanku. Aku ingat sekali, kamu yang pertama kali mengenalkanku alat ini. Kamu bilang, minum kopi dari alat ini lebih menyenangkan daripada langsung meminum kopi yang sudah tersedia dalam cangkir. Lebih menyenangkan karena setidaknya ada usaha sedikit yang harus kita lakukan sebelum merasakan kenikmatan kopi tersebut. Bahkan kita harus bersabar sedikit, karena kopi di dalam french press tersebut harus didiamkan terlebih dahulu sebelum alatnya menekan ampas kopi di dalam demi hasil rasa kopi yang sempurna.
Aku jadi geli sendiri mengingatnya. Kamu memang seorang pekerja keras, perhitungan, dan perfeksionis. Bahkan untuk minum kopi saja, minimal harus ada prosesinya terlebih dahulu. Tapi inilah yang membuatmu berbeda dari lelaki lain. Dan inilah salah satu alasan yang membuatku terjatuh padamu.

Ah, aku bisa membayangkan muka sinismu yang selalu kau tunjukkan jika aku mulai bersikap mellow seperti perempuan kebanyakan. Ya, kamu memang anti dengan perempuan seperti itu. Salah satu hal lainnya yang membuatmu menjadi sosok lelaki yang berbeda.

Kutekan alat french press ini pelan-pelan, sambil merasakan proses yang terjadi di dalam alat tersebut. Sama persis seperti yang selalu kamu lakukan. Kutuangkan kopi tersebut memenuhi cangkir yang sudah tersedia di atas meja, lalu kusesap kopi itu perlahan.
Kupejamkan mata ini. Menikmati setiap tetesan rasa di lidah. Kusesap lagi, terus-terusan, hingga hampir menghabisi cairan di dalam cangkir ini.

Rasa kopi ini pahit, tetapi adiktif.

Sama seperti kehadiranmu di dalam hidupku. Tidak jarang kamu membuatku susah dengan adanya kamu. Dengan sifatmu yang keras dan perfeksionis. Tetapi aku tetap suka. Karena dengan apa adanya dirimu, aku yang selalu bersifat santai, merasa dilengkapi. Kamu, bagaikan candu bagiku.

Kuminum tetesan terakhir di dalam cangkir hingga bersih.

Tidak. Aku semakin tidak tahan. Rasa kopi ini, suasana kafe yang selalu sama yang aku kira selalu dapat melengkapi, tidak bisa mengisi kekosongan diri karena telah kehilangan kamu. Malahan aku semakin merasa kosong. Semakin merasa kehilangan. Rasa kopi ini, suasana kafe yang selalu sama, tetapi tanpa kehadiranmu, memaksaku menghadapi kenyataan bahwa segalanya tak akan lagi terasa sama. Kamu, tidak akan pernah lagi duduk menikmati kopi di hadapanku. Kamu, tidak akan pernah ada lagi.

Tidak. Aku sudah tidak kuat. Hei kamu, bolehkah sekali ini saja pertahananku runtuh? Sekali ini saja aku ingin seperti perempuan kebanyakan lainnya. Aku sudah tidak kuat menjadi kuat. Rasanya diri sudah ingin meledak, hancur berkeping-keping.

Cairan hitam pekat di dalam cangkir pun berganti dengan tetesan air yang jatuh dari mata ini. Kutundukkan kepalaku. Kukeluarkan semuanya. Rasa kosong, rindu, marah, cinta, kehilangan, semuanya menjadi satu dalam air mata ini. Rasa yang menumpuk sekian lama ini sudah tidak sehat, harus segera dilepaskan seluruhnya.

Sekali lagi, maafkan aku tidak bisa menjadi sekuat yang kamu harapkan.

………

“Ini, cokelat panas. Selalu terbukti dapat menenangkan hati dan pikiran. Jangan terus-terusan mengkonsumsi kopi. Sebagai penikmat kopi, seharusnya kamu tahu kandungan kaffein dalam kopi dapat membuat jantung semakin berdebar dan membuat perasaan menjadi tidak stabil.”

Kupandangi secangkir cokelat di atas meja dengan asap mengebul yang diarahkan ke hadapanku. Kuganti pandanganku ke sosok pemberi minuman tersebut, yang tengah duduk menempati kursi milikmu. Aku kenal dia. Pemilik kafe ini. Beberapa kali aku melihatnya ikut melayani pelanggan. Penampilannya yang lebih rapih dan berbeda dengan pelayan lainnya yang membuatku memutuskan bahwa ialah pemilik kafe.

“Sudah lama aku tidak melihatmu datang ke kafe ini.”, ucapnya saat aku hanya memandangi wajahnya. “Dan sudah kuduga, penyebab absennya kamu di tempat ini adalah orang yang biasa duduk di kursi aku duduki sekarang ini, dan sekarang dirinya malah tidak ada.”

Perlukah dirinya mengkonfirmasi hal nyata tersebut? Tidak perlu ia memberitahu lagi sesuatu yang sudah aku ketahui. Aku tidak suka. Rasanya seperti dibenturkan berkali-kali kepada kenyataan yang pahit.

“Maaf, tapi saya tidak suka cokelat. Saya tidak minum minuman manis.”, jawabku dengan sedikit ketus sekaligus ingin memberikan pertanda bahwa aku tidak suka ia duduk di hadapanku, di kursi tempat dirimu biasa berada. Walaupun ia pemilik kafe, seharusnya ia tetap tidak boleh mengusik privasi pelanggannya.

“Tetap, kamu minum saja. Gratis kok.”, didorongnya secangkir cokelat tersebut semakin dekat ke hadapanku. Ia seakan tidak peduli dengan sikapku yang bersikap tidak ramah padanya.

“Mungkin kamu memang tidak suka minuman manis. Tetapi terkadang kamu harus berani melakukan hal yang tidak kamu sukai demi memulai lembaran baru di dalam hidup. Jangan menimpa sesuatu yang pahit dengan hal yang pahit pula. Pulihkanlah kepahitan dengan sesuatu hal yang manis.”

Akupun terdiam mendengar rentetan kata yang keluar dari mulutnya. Kalau kata-kata bisa berubah menjadi pisau, mungkin tubuhku sekarang ini sudah berdarah-darah dirajami oleh kata-kata yang menghujam tersebut.
Aku hanya terdiam, tidak bisa berkata-kata.

Melihatku yang hanya terdiam seribu bahasa, ia pun tersenyum lalu bangkit dari tempat duduk milikmu. Kaget. Senyum itu mengingatkanku akan senyummu yang sebelumnya tidak pernah absen dalam hari-hariku. Aku seakan melihat dirimu lah yang hadir di hadapanku.

“Kehilangan itu, memang sakit rasanya. Tapi asal kamu tahu, sakit yang kamu rasa sekarang mungkin sama rasanya dengan yang aku rasakan sewaktu menunggu kehadiranmu yang lama tidak pernah datang di tempat ini. Dan pada akhirnya kamu datang, aku malah harus melihatmu tertekan seperti ini.” Kulihat senyum di wajahnya yang sedikit miris, sambil berusaha mencerna kata-kata yang ia ucapkan.

“Sudahlah, minumlah cokelat ini. Kamu butuh sesuatu yang manis untuk membuatmu tersenyum. Lagipula seharusnya kamu bangga menjadi pelanggan pertama yang mencicipi cokelat panas racikan sang pemilik kafe.”, lanjutnya sambil tersenyum dan berlalu menuju ke ruangan dalam kafe tempat khusus para pekerja.

Kembali aku terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Kata-kata gamblang dari dirinya, juga dirimu yang seakan tiba-tiba muncul di hadapanku....

Apa boleh kedatangan tiba-tiba tadi aku anggap sesuatu pertanda darimu? Sesuatu pertanda bahwa kamu memang telah rela melepasku, dan kamu pun berharap aku juga rela melepasmu. Sesuatu pertanda bahwa kamu lelah melihatku menjadi perempuan lemah yang selama ini kamu benci. Sesuatu pertanda bahwa kamu ingin melihatku bergerak, berpindah. Sesuatu pertanda bahwa kamu hanya ingin melihatku bahagia.

Bolehkah?

Kusesap secangkir cokelat panas di atas mejaku. Manis. Dengan masih ada sedikit rasa pahit kopi tertinggal di lidah. Mungkin aku memang butuh manis lebih banyak lagi untuk menghilangkan sama sekali rasa pahit ini.

Ya. Mungkin sudah saatnya aku mulai mempunyai kebiasaan baru, memesan secangkir cokelat panas. Secangkir cokelat panas yang dibuatkan khusus untukku.


Taken from: Google

Tuesday, September 4, 2012

"I'm singing my blue..."


I feel like my heart has stopped beating.
You and I. Frozen here, after a war.
Trauma, that has been carved in my head,
Once these tears dried up, I will moistly remember my love.
I’m neither painful nor lonely,
Happiness is all a self-talk.
I can’t stand something more complicated.
It’s no big deal, I don’t care.
Inevitable wandering, people always come and go...


*Translated from Big Bang's song 'Blue'