Courtesy: www.thirtysecondstomars.com |
Rasanya merinding setiap saya memutar kembali memori tanggal
22 Juli 2012 di Pantai Karnaval Ancol pada saat itu. Pertama kalinya saya
menyaksikan secara langsung penampilan 30 Seconds To Mars di atas panggung Indonesia . Dan
menurut saya, inilah salah satu kenangan konser terbaik yang saya miliki.
Saya bukan penggemar berat musik rock/alternative
rock/progressive rock atau apalah itu yang mereka sebut genre dari lagu-lagu 30
Seconds To Mars. Sedikit sekali
jenis musik seperti ini yang bisa bersahabat dengan telinga saya. Tetapi
saat masih duduk di bangku SMP, pertama kalinya saya melihat video klip lagu
yang termasuk membuat besar nama mereka, “The Kill”, saat itu juga saya
langsung jatuh cinta dengan mereka. Bukan karena tampan wajah dari sang
vokalis, Jared Leto (karena banyak sekali wanita kepincut dengan band ini
dikarenakan alasan fisik sang vokalis). Tetapi lebih karena musik dan video
mereka, yang entah kenapa selalu membawa suatu semangat tersendiri buat saya.
Mungkin karena dulu saya masih agak-agak “emo” kali ya. Ehehehe.
Sejak saat itulah saya mulai menekuni lagu-lagu band yang
sekarang beranggotakan tiga orang ini.
Dan ketika mengetahui bahwa mereka adalah salah satu line-up
besar di Java Rockin’Land 2011, rasanya nafas saya habis selama 30 detik itu
juga. Saya harus nonton, pikir saya waktu itu. Mau bagaimanapun caranya, saya
harus nonton.
Apapun saya korbankanlah waktu itu. Uang yang pas-pasan dimana
anak baru lulus sekolah ga pegang uang banyak dan akhirnya saya habiskan untuk
membeli tiket, juga merelakan gaji dipotong demi mendapat izin tidak masuk
kantor dikarenakan saat itu belum dapat jatah cuti karena baru 2 bulan bekerja.
Banyak yang bilang saya bodoh dan buang-buang uang pada saat itu. Tapi, peduli
apalah. Kita tidak pernah tahu kan
apakah nantinya ada kesempatan kedua yang datang. Saya tidak mau menyesal
nantinya karena tidak bisa nonton musisi kesukaan saya seumur hidup.
Lagipula, it is all worth it for music. (Prinsip aneh buatan
sendiri yang masih saya pegang teguh sampai saat ini).
Dan benar, saya tidak menyesal sama sekali mengorbankan ini
itu untuk menonton mereka.
Jared Leto, Shannon Leto, dan Tomo Milicevic benar-benar
tampil sangat maksimal dan memuaskan pada malam itu. Bulu kuduk saya otomatis
berdiri sewaktu lighting panggung dimatikan lalu lagu pertama yang menjadi
intro konser pada malam itu, “Escape” mulai berkumandang. Highlight of that
moment: waktu semua penonton serentak bernyanyi pada bagian lirik “THIS IS
WAAAARRRR!” sambil mengepalkan tangan ke atas. Gila. Parah. Merinding. Saya
sampai ga tahu lagi mau nulis apa buat menunjukkan bagaimana perasaan saya pada
saat itu. Ini baru lagu pertama lho.
Belum selesai saya dibuat merinding, saya langsung mendengar
suara musik yang sangat familiar di kuping saya. Sesaat itu juga gebukan drum
yang sudah saya hapal sekali mulai menggebrak masuk. Ya, lagu kedua, “A
Beautiful Lie”. Koor penonton pun membahana sepanjang lagu. Tampilan music
video lagu tersebut di layar panggung, yang diambil di daerah Arctic
(kalau ga salah) juga menambah indah situasi saat itu.
Satu kesimpulan yang sudah bisa saya ambil pada saat itu:
musik mereka ga jauh beda dengan dari yang di dalam recording. Bahkan jauh
lebih baik. Terutama Jared Leto, kekuatan suaranya benar-benar memukau saya.
Lagu-lagu berikutnya pun digeber secara kencang oleh trio
ini. “Attack”, “Search and Destroy”, semua orang ikut bernyanyi sepanjang
lagu-lagu tersebut. Ah ya, dan di lagu “Search and Destroy”, Jared
memberhentikan lagu di tengah dan menunjuk satu penonton untuk naik ke atas
panggung. Lucunya, naik satu perempuan yang sepertinya bukan orang yang
ditunjuk. Dan respon Jared adalah, “No. Get the fuck out there”. Hahaha! Inilah,
Jared Leto yang dikenal ‘galak’! Barulah setelah itu naik orang yang benar. Ia
diminta untuk berteriak menyapa “Hello Indonesia !!!”. Setelah itu barulah
lagu dilanjutkan kembali hingga selesai dengan klimaks.
Daaann…berkumandanglah track favorit saya di album terakhir
mereka. “This is War”, yang (untungnya)
tetap digabungkan dengan “100 Suns”, sama persis dengan yang ada di dalam album.
”A warning to the
people,
The good and the evil,
This is war.”
“I believe in nothing
Not the end and not
the start
I believe in nothing
Not the earth and not
the stars..”
Bagi saya, lirik kedua lagu tersebut seperti mempunyai arti
tersendiri. Seperti sama-sama mengajak kita untuk berhati-hati dan berperang
dalam hidup sendiri, baik untuk kita orang yang (merasa) baik, ataupun jahat. Eh
tapi, itu menurut saya sih.
Baru saja dibuat merenung sedikit di karya ‘seratus matahari’,
penonton langsung digeber kembali dengan salah satu anthem dari album This Is
War mereka, yaitu “Vox Populi”. Lagu yang pada aslinya merupakan kerja sama
antara Echelon (sebutan pecinta 30 Seconds To Mars) dengan sang band pun,
berhasil membuat koor penonton kembali membahana, mengisi bagian para Echelon
terpilih. “This is a call to arms! Gather
soldiers! Time to go to war!”. Asli, saya berasa diajak ikut perang saat
itu juga pada saat semua bernyanyi bersama. Dan seperti biasa, bulu kuduk
berdiri,
Lagu pengantar
perang pun selesai. Seluruh personil masuk ke backstage, meninggalkan sang
drummer yakni Shannon Leto sendiri di atas panggung. Ia mengambil gitar, lalu
memainkan musikal ”L490” dengan indah. Kali ini saya memejamkan mata untuk menikmati apa yang ada. Saat itu juga,
saya merasa sangat syahdu. Pengalaman ini terlalu indah untuk dirasa.
Masih ingin
memanjakan para penggemar, Jared pun muncul dan mengambil gitar menggantikan
posisi sang kakak. Dengan menyenangkan ia berturut-turut membawakan ”From
Yesterday”, ”Alibi”, dan ”The Kill” secara akustik. Saya yang kebetulan berdiri
di tengah depan pagar pembatas panggung pas di depan Jared, dengan lelah
menyandarkan tangan dan kepala saya di pagar sambil menikmati suara indah Jared
di depan muka saya.
Saya perlu bilang
lagi ga, kalau koor penonton juga membahana di 3 lagu akustik tersebut?
Dan saya
menyempatkan diri memperhatikan keadaan sekitar mumpung lagu yang dibawakan
lagi tenang. Lihat ke kiri, belakang, kanan...
Astaga.
Lautan manusia.
Baru kali ini
melihat penonton sebanyak itu.
Seperti biasa, saya
merinding.
Untungnya pentas
akustik ini segera selesai, karena badan saya yang sebenarnya sudah kelewat
lemas dan lelah dikarenakan digencet sana-sini sama banyak orang, butuh
bergerak-loncat-jejingkrakan lebih banyak agar rasa lelah tidak terlalu dirasa.
”Hurricane” pun
lalu digempur oleh ketiga-manusia-yang-sudah-berumur-tapi-tetap-energik ini. Dan
dilanjutkan oleh ”Closer To The Edge” yang asli, keren parah. Jared Leto muncul dengan memakai bendera merah-putih
yang besar. Berlari dari ujung panggung ke ujung lainnya dengan bendera
Indonesia di pundaknya. Entah kenapa hati saya berdesir melihatnya. Terselip
rasa haru dan bangga tersendiri melihat musisi kesayangan kalian menaruh respek
terhadap negara kalian. Di lagu ini pun Jared kembali mengajak salah satu
penonton lelaki untuk naik ke atas panggung dan bernyanyi bersama. ”Closer to the edge... NO!
NO! NO! NO!” terus
diulang berkali-kali walaupun alat musik sudah berhenti dimainkan. Bayangkan
sajalah, kamu dan ribuan orang bernyanyi—berteriak di tempat yang sama sambil
mengepalkan tangan kencang-kencang ke langit. Bahagia membuncah di dada
rasanya. Ini serius, ga berlebihan.
Seperti tidak
rela saat lagu tersebut selesai. Mau mengulang kembali rasanya bernyanyi
seperti itu.
Setelah itu,
ketiga personil ini masuklah ke backstage. Dan setiap orang otomatis
langsung panik dan lalu berteriak meminta encore. ”We want more!! We want
more!!!!”. Saya yang sudah yakin mereka pasti kembali lagi ke atas panggung, diam
saja menunggu saat itu tiba.
Dan benar saja,
dengan serentak mereka kembali ke atas panggung.
Jared yang lalu
kembali menyapa para penggemarnya, dan melihat ke sekeliling. Saya perhatikan,
para crew pun juga sibuk seperti memilah-milah sesuatu. Saya langsung ngeh pada
saat itu. Ah, ini pasti mereka lagi memilih segerombolan orang-orang yang akan
naik ke atas panggung! Saya juga sudah bisa menebak lagu apa yang akan menjadi
encore mereka. Penonton yang
juga sudah ngeh akan situasi, mulai membuas pada saat itu juga. Semua orang berebutan memanjat pagar
pembatas untuk bisa naik ke atas panggung. Dan saya pun ikutan menjadi buas berusaha
keluar dari pembatas untuk mencapai panggung. Serius, keadaan waktu itu rusuh
kebangetan.
Namun, usaha
orang tekun memang selalu akan membawa hasil.
Iya, saya
berhasil berdiri di atas panggung bersama musisi-musisi kesayangan saya yang
bergabung dalam satu, 30 Seconds To Mars!!
Itu rasanya mau
teriak kegirangan pada saat itu juga. Saya yang kemarin hanya bisa
berandai-andai bisa seperti ini setiap menonton video rekaman konser mereka,
akhirnya bisa berdiri di atas media yang sama dengan Jared, Shannon, Tomo.
Gila, mimpi apa
saya semalam?
”This next song is called ’Kings and Queens ’!!!”,
teriak Jared Leto pada saat itu juga yang seketika memancing teriak histeris hamper
seluruh penonton. Saya pun juga otomatis loncat-loncat—teriak—nyanyi-nyanyi sepanjang
lagu, tidak seperti kebanyakan orang beruntung di atas panggung yang malah
sibuk merekam wajah tampan Jared, Shannon , dan
Tomo. Mungkin saya terdengar sinis, tapi mereka yang sibuk sendiri tersebut
tidak tahu bagaimana caranya menikmati moment langka yang ada. Peduli apalah.
Yang penting saya menikmati rasa bahagia luar biasa yang saya rasakan pada saat
itu. Tidak pernah terlewat di pikiran saya sebelumnya untuk bisa berbagi
panggung dengan siapapun musisi kesayangan saya.
“We were the kings and
queens of promise!
We were the victims of
ourselves!”
Dan dengan
berhentinya lagu tersebut, berakhirlah sudah ‘surga’ saya pada saat itu.
Hari itu
benar-benar salah satu hari yang tidak akan pernah bisa saya lupakan. Ah, bahkan saya pun sekarang masih tersenyum
saat menulis tulisan ini, salah satu kenangan musikal terindah.
Tidak menyesal
saya menghabiskan receh-receh di dalam dompet saya dan rela hidup ’ngirit’
sampai tanggal gajian di akhir bulan. Tidak menyesal saya dipotong gajinya
hanya demi mantengin venue dari siang untuk bisa dapat spot menonton yang
terbaik. Rasa lapar, haus, lemas, lelah yang dirasa selama acara pun terbayar
lunas oleh apa yang telah saya alami.
Uang dapat
dicari. Lapar, haus, dan segala
temannya bisa dihilangkan.
Tapi pengalaman
dan kenangan tidak akan bisa dibeli.
Saya masih ingat
perkataan Jared Leto pada saat di tengah konser yang kira-kira seperti ini, ”We promise you, we’ll
be back to Indonesia again!”.
Ya, saya harap mereka
tidak melupakan janjinya tersebut. Dan saya berharap, pada saat mereka datang
kembali ke negara ini, dengan konser tunggal mereka.
22 Juli 2011. 30
detik yang terasa abadi.
***