Showing posts with label Fiction. Show all posts
Showing posts with label Fiction. Show all posts

Friday, September 14, 2012

Bittersweet Symphony---side B


Ah, akhirnya aku melihatmu datang lagi. Seperti biasa, dirimu langsung menuju ke tempat favoritmu. Di kursi, pojokan, membelakangi speaker kecil di kafe ini. Sudah beberapa bulan ini aku memperhatikanmu melakukan hal yang sama setiap kamu mengunjungi tempat ini. Duduk di kursi yang itu-itu lagi, memesan kopi Mandailing dalam French press, lalu bersendau gurau dengan pria yang selalu menemani duduk di hadapanmu. Hampir setiap hari. Maka dari itu, rasanya ada yang aneh sudah seminggu ini tidak melihatmu ada seperti biasa. Seperti ada yang hilang. Aku rindu melihatmu, mungkin.

Dan ada yang lebih aneh dari itu. Kali ini, kamu datang sendirian. Setelah satu minggu menghilang.
Bagaimana bisa hal yang sudah dilakukan selama berbulan-bulan tiba-tiba saja berubah? Sebut aku orang yang sok tahu, tapi aku tahu kamu bukan orang yang mudah melenceng dari jalur yang sudah biasa kamu jalani.

Aku kembali memandangimu. Menu yang kamu pesan masih sama. Kopi Mandaling di dalam French press tanpa gula sama sekali. Kulihat kamu menyesap cairan hitam pekat itu secara perlahan, memejamkan mata untuk menikmati rasa pahit adiktif di setiap tetesan yang kamu minum. Inilah salah satu alasan mengapa aku senang memperhatikanmu. Caramu menikmati segala sesuatu yang menyentuh indera perasa dan pendengaranmu, entah mengapa membiusku. Bahkan tidak jarang aku mendapatimu tersenyum, memejamkan mata lalu menggerakan kepala dan tangan sesuai irama tiap mendengar lantunan musik kesukaanmu terdengar mengalun di belakang telingamu. Hanya melihatmu seperti itu saja sudah bisa membuatku merasa damai. Ternyata masih ada manusia yang menghargai sesuatu sekecil apapun itu.

Tetapi kali ini aku tidak merasa senang. Ada yang berbeda hari ini. Kamu tidak lagi menganggap hal-hal kecil itu sebagai sesuatu hal yang sakral. Kamu memang menikmati rasa kopi yang sedang kamu minum sekarang, tetapi aku bisa melihat pandanganmu yang kosong. Dan, mana gerakan kecil kepala dan tanganmu saat mendengar lantunan lagu kesukaanmu? Mana senandung merdu yang biasa keluar dari mulutmu? Padahal aku sudah sengaja membuat satu playlist khusus berisi lagu-lagu kesukaanmu agar bisa kumainkan tiap kamu datang ke kafe ini. John Mayer, itu salah satu musisi kesukaanmu, bukan? Mengapa kamu hanya diam saja? Mengapa tidak terlihat reaksi sedikitpun? Kamu hanya terus-terusan menenggak kopi itu.

Tiba-tiba kamu menundukkan kepalamu. Badanmu bergetar tidak karuan. Isakan sayup-sayup terdengar, menggantikan senandung merdu.
Pertanyaan ‘mengapa’ ku pun terjawab. Tapi bukan reaksi seperti ini yang ingin aku lihat.

Kamu menangis. Ada apa?

Kulihat kursi di depanmu yang biasanya terisi, sekarang ini kosong. Sekejap aku pun mengerti apa yang membuatmu menjadi berbeda hari ini.
Sebegitunya kah rasa sakitnya? Sampai kamu terlihat seperti ini.

“Eh lo tahu kan pelanggan kita, yang hampir setiap hari datang ke kafe? Seminggu yang lalu dia kecelakaan di dekat kafe waktu menuju ke sini….”
“Serius? Yang selalu datang sama perempuan yang duduk di pojokan itu kan? Terus gimana tuh?”
“Gue denger sih…saking parah kejadiannya, orangnya ga bisa diselamatkan lagi. Makanya sekarang dia cuma datang sendiri. Kasihan…”

Sekarang aku mengerti. Ternyata memang sebegitunya rasa sakit yang kamu rasa. Hingga membuatku miris melihatmu hancur saat ini.

Mungkin aku harus melakukan sesuatu.

*

“Ini, cokelat panas. Selalu terbukti dapat menenangkan hati dan pikiran. Jangan terus-terusan mengkonsumsi kopi. Sebagai penikmat kopi, seharusnya kamu tahu kandungan kaffein dalam kopi dapat membuat jantung semakin berdebar dan membuat perasaan menjadi tidak stabil.”

Kamu hanya memandangiku kosong, dan sedikit bingung. Jantungku rasanya berdetak jauh lebih kencang saat melihat matamu—di jarak sedekat ini. Bagaimana aku tidak berdebar seperti ini kalau biasanya aku hanya memandangimu dari jauh.

Melihat kamu tetap diam tidak menggubris kata-kataku, aku putuskan untuk melanjutkan pembicaraan kembali. “Sudah lama aku tidak melihatmu datang ke kafe ini……,” aku terdiam sejenak mengumpulkan keberanian untuk melontarkan kata-kata selanjutnya, “dan sudah kuduga, penyebab absennya kamu di tempat ini adalah orang yang biasa duduk di kursi aku duduki sekarang ini, dan sekarang dirinya malah tidak ada.”

Aku melihat dirimu terkesiap mendengar kata-kata gamblangku. Pandangan mata kosong itu berubah seketika menjadi tatapan kaget bercampur marah, sedih, entahlah. Yang pasti aku tahu, aku baru saja menyentil hal paling sensitif yang dari tadi terus kamu simpan rapat-rapat di dalam.

“Maaf, tapi saya tidak suka cokelat. Saya tidak minum minuman manis.” Akhirnya, ada juga kata-kata yang keluar dari mulutmu. Walaupun jelas sekali terdengar ketus. Kalimat penolakan. Dan aku tahu kamu marah.

Terserahlah kamu mau anggap aku orang tidak tahu diri, yang tiba-tiba datang lalu berkata seenaknya padahal tidak mengenalmu sama sekali. Aku tidak peduli. Aku hanya tidak ingin melihatmu dengan keadaan tadi.

“Tetap, kamu minum saja. Gratis kok.” Aku sebenarnya takut kamu marah lalu menyiramku dengan cokelat panas itu. Tapi, aku tahu, aku sudah tidak bisa berhenti di sini.

“Mungkin kamu memang tidak suka minuman manis. Tetapi terkadang kamu harus berani melakukan hal yang tidak kamu sukai demi memulai lembaran baru di dalam hidup. Jangan menimpa sesuatu yang pahit dengan hal yang pahit pula. Pulihkanlah kepahitan dengan sesuatu hal yang manis.”

Aku rasa, ini cukup. Melihat kamu yang hanya terdiam saat ini, membuatku bersyukur cangkir di atas mejamu tidak melayang ke kepalaku. Entah apa yang ada di pikiranmu saat ini. Semoga saja kamu memikirkan perkataanku tadi. Aku hanya bisa tersenyum melihatmu diam. Yah, sudah saatnya aku pergi dari meja ini.

Aku pun bangkit dari kursi ini. Rasanya berat duduk di sini seakan menggantikan orang tersebut.

“Kehilangan itu, memang sakit rasanya. Tapi asal kamu tahu, sakit yang kamu rasa sekarang mungkin sama rasanya dengan yang aku rasakan sewaktu menunggu kehadiranmu yang lama tidak pernah datang di tempat ini. Dan pada akhirnya kamu datang, aku malah harus melihatmu tertekan seperti ini.” Aku hanya tersenyum miris saat mengatakan hal itu. Aku juga perlu melepaskan beban yang aku rasa, kan? Aku menghela napas. Kali ini benar-benar cukup. “Sudahlah, minumlah cokelat ini. Kamu butuh sesuatu yang manis untuk membuatmu tersenyum. Lagipula seharusnya kamu bangga menjadi pelanggan pertama yang mencicipi cokelat panas racikan sang pemilik kafe.”

Aku benar-benar tidak akan mengusikmu lagi. Memandangimu dari jauh seperti biasa saja, itu sudah cukup bagiku. Aku hanya berharap, kamu tidak lagi berantakan seperti tadi. Tidak lagi merasakan beban setiap duduk di kursi favoritmu, minum minuman kesukaanmu, dan mendengar lagu kesayanganmu. Tidak lagi menatap pedih kursi kosong di depanmu. Tidak ada lagi air mata yang jatuh menggantikan cairan hitam pekat di dalam cangkir.

Dan mungkin, suatu saat nanti, jika kamu sudah siap memesan secangkir cokelat panas, aku akan berani duduk di hadapanmu. Melupakan apa yang terjadi pada hari ini, dan memulai sesuatu yang baru.

Thursday, September 6, 2012

Bittersweet Symphony---side A

Aku mendapati diriku kembali duduk di tempat ini.
Di kursi yang sama seperti sebelum-sebelumnya.
Pojok ruangan, meja untuk dua orang, membelakangi kasir dengan speaker tepat di belakang telinga.
Tempat ini juga masih sama.
Jumlah meja dan kursi yang masih statis, lukisan-lukisan terpampang di dinding yang sudah aku hapal letak dan namanya, buku-buku untuk dibaca oleh pelanggan yang sudah semua aku lahap abis, dan para pelayan yang aku ingat betul wajah dan namanya begitupun juga mereka kepadaku.

“Mandailing coffee in french press, without sugar.”
Kupandangi senyum pelayan perempuan yang masih sama ramahnya, menyatakan menu yang akan ia buat.
Ya, bahkan mereka tidak perlu bertanya lagi karena sudah hapal kebiasaanku.
Kubalas ia dengan senyum seadanya di wajahku, sekaligus memberikan tanda padanya untuk segera berlalu menyiapkan pesananku.

Kopi. Hanya itu yang sangat kubutuhkan sekarang.

Sayup-sayup terdengar suara musik mengalun dari speaker di belakang telingaku. Akupun secara otomatis tersenyum mendengarnya. Bahkan musik di tempat ini pun masih sama.
Masih sama dengan saat pertama kali aku menjejakkan kakiku di tempat ini.

Segalanya masih sama. Apa yang berbeda hanyalah, saat ini, kursi di hadapanku, kosong. Tidak ada yang menempati.
Tidak ada kamu. Orang yang mengenalkanku pada tempat ini.
Sesuatu bergemuruh keras di dalam dada saat memandangi kursi kosong tersebut.
1…2…1…2…tarik napas, hembuskan perlahan, ulangi lagi. Aku harus tenang. Toh tujuanku ke sini kan untuk bersantai.

Atau lebih tepatnya, untuk mengisi kekosongan diri dengan tetap melakukan aktifitas yang biasa aku lakukan bersamanya.

“Silahkan, Mandailing coffee-nya. Hati-hati masih panas. Jika memerlukan bantuan, bisa langsung panggil saya atau pelayan lain yang bertugas. Selamat menikmati”. Deretan kalimat dari pelayan perempuan yang tadi melayaniku membuyarkan lamunanku. Untung saja dia cepat datang dengan kopi yang kupesan. Aku sudah bilang kan aku sedang sangat butuh kopi ini?

Kudiamkan beberapa menit kopi di dalam french press di hadapanku. Aku ingat sekali, kamu yang pertama kali mengenalkanku alat ini. Kamu bilang, minum kopi dari alat ini lebih menyenangkan daripada langsung meminum kopi yang sudah tersedia dalam cangkir. Lebih menyenangkan karena setidaknya ada usaha sedikit yang harus kita lakukan sebelum merasakan kenikmatan kopi tersebut. Bahkan kita harus bersabar sedikit, karena kopi di dalam french press tersebut harus didiamkan terlebih dahulu sebelum alatnya menekan ampas kopi di dalam demi hasil rasa kopi yang sempurna.
Aku jadi geli sendiri mengingatnya. Kamu memang seorang pekerja keras, perhitungan, dan perfeksionis. Bahkan untuk minum kopi saja, minimal harus ada prosesinya terlebih dahulu. Tapi inilah yang membuatmu berbeda dari lelaki lain. Dan inilah salah satu alasan yang membuatku terjatuh padamu.

Ah, aku bisa membayangkan muka sinismu yang selalu kau tunjukkan jika aku mulai bersikap mellow seperti perempuan kebanyakan. Ya, kamu memang anti dengan perempuan seperti itu. Salah satu hal lainnya yang membuatmu menjadi sosok lelaki yang berbeda.

Kutekan alat french press ini pelan-pelan, sambil merasakan proses yang terjadi di dalam alat tersebut. Sama persis seperti yang selalu kamu lakukan. Kutuangkan kopi tersebut memenuhi cangkir yang sudah tersedia di atas meja, lalu kusesap kopi itu perlahan.
Kupejamkan mata ini. Menikmati setiap tetesan rasa di lidah. Kusesap lagi, terus-terusan, hingga hampir menghabisi cairan di dalam cangkir ini.

Rasa kopi ini pahit, tetapi adiktif.

Sama seperti kehadiranmu di dalam hidupku. Tidak jarang kamu membuatku susah dengan adanya kamu. Dengan sifatmu yang keras dan perfeksionis. Tetapi aku tetap suka. Karena dengan apa adanya dirimu, aku yang selalu bersifat santai, merasa dilengkapi. Kamu, bagaikan candu bagiku.

Kuminum tetesan terakhir di dalam cangkir hingga bersih.

Tidak. Aku semakin tidak tahan. Rasa kopi ini, suasana kafe yang selalu sama yang aku kira selalu dapat melengkapi, tidak bisa mengisi kekosongan diri karena telah kehilangan kamu. Malahan aku semakin merasa kosong. Semakin merasa kehilangan. Rasa kopi ini, suasana kafe yang selalu sama, tetapi tanpa kehadiranmu, memaksaku menghadapi kenyataan bahwa segalanya tak akan lagi terasa sama. Kamu, tidak akan pernah lagi duduk menikmati kopi di hadapanku. Kamu, tidak akan pernah ada lagi.

Tidak. Aku sudah tidak kuat. Hei kamu, bolehkah sekali ini saja pertahananku runtuh? Sekali ini saja aku ingin seperti perempuan kebanyakan lainnya. Aku sudah tidak kuat menjadi kuat. Rasanya diri sudah ingin meledak, hancur berkeping-keping.

Cairan hitam pekat di dalam cangkir pun berganti dengan tetesan air yang jatuh dari mata ini. Kutundukkan kepalaku. Kukeluarkan semuanya. Rasa kosong, rindu, marah, cinta, kehilangan, semuanya menjadi satu dalam air mata ini. Rasa yang menumpuk sekian lama ini sudah tidak sehat, harus segera dilepaskan seluruhnya.

Sekali lagi, maafkan aku tidak bisa menjadi sekuat yang kamu harapkan.

………

“Ini, cokelat panas. Selalu terbukti dapat menenangkan hati dan pikiran. Jangan terus-terusan mengkonsumsi kopi. Sebagai penikmat kopi, seharusnya kamu tahu kandungan kaffein dalam kopi dapat membuat jantung semakin berdebar dan membuat perasaan menjadi tidak stabil.”

Kupandangi secangkir cokelat di atas meja dengan asap mengebul yang diarahkan ke hadapanku. Kuganti pandanganku ke sosok pemberi minuman tersebut, yang tengah duduk menempati kursi milikmu. Aku kenal dia. Pemilik kafe ini. Beberapa kali aku melihatnya ikut melayani pelanggan. Penampilannya yang lebih rapih dan berbeda dengan pelayan lainnya yang membuatku memutuskan bahwa ialah pemilik kafe.

“Sudah lama aku tidak melihatmu datang ke kafe ini.”, ucapnya saat aku hanya memandangi wajahnya. “Dan sudah kuduga, penyebab absennya kamu di tempat ini adalah orang yang biasa duduk di kursi aku duduki sekarang ini, dan sekarang dirinya malah tidak ada.”

Perlukah dirinya mengkonfirmasi hal nyata tersebut? Tidak perlu ia memberitahu lagi sesuatu yang sudah aku ketahui. Aku tidak suka. Rasanya seperti dibenturkan berkali-kali kepada kenyataan yang pahit.

“Maaf, tapi saya tidak suka cokelat. Saya tidak minum minuman manis.”, jawabku dengan sedikit ketus sekaligus ingin memberikan pertanda bahwa aku tidak suka ia duduk di hadapanku, di kursi tempat dirimu biasa berada. Walaupun ia pemilik kafe, seharusnya ia tetap tidak boleh mengusik privasi pelanggannya.

“Tetap, kamu minum saja. Gratis kok.”, didorongnya secangkir cokelat tersebut semakin dekat ke hadapanku. Ia seakan tidak peduli dengan sikapku yang bersikap tidak ramah padanya.

“Mungkin kamu memang tidak suka minuman manis. Tetapi terkadang kamu harus berani melakukan hal yang tidak kamu sukai demi memulai lembaran baru di dalam hidup. Jangan menimpa sesuatu yang pahit dengan hal yang pahit pula. Pulihkanlah kepahitan dengan sesuatu hal yang manis.”

Akupun terdiam mendengar rentetan kata yang keluar dari mulutnya. Kalau kata-kata bisa berubah menjadi pisau, mungkin tubuhku sekarang ini sudah berdarah-darah dirajami oleh kata-kata yang menghujam tersebut.
Aku hanya terdiam, tidak bisa berkata-kata.

Melihatku yang hanya terdiam seribu bahasa, ia pun tersenyum lalu bangkit dari tempat duduk milikmu. Kaget. Senyum itu mengingatkanku akan senyummu yang sebelumnya tidak pernah absen dalam hari-hariku. Aku seakan melihat dirimu lah yang hadir di hadapanku.

“Kehilangan itu, memang sakit rasanya. Tapi asal kamu tahu, sakit yang kamu rasa sekarang mungkin sama rasanya dengan yang aku rasakan sewaktu menunggu kehadiranmu yang lama tidak pernah datang di tempat ini. Dan pada akhirnya kamu datang, aku malah harus melihatmu tertekan seperti ini.” Kulihat senyum di wajahnya yang sedikit miris, sambil berusaha mencerna kata-kata yang ia ucapkan.

“Sudahlah, minumlah cokelat ini. Kamu butuh sesuatu yang manis untuk membuatmu tersenyum. Lagipula seharusnya kamu bangga menjadi pelanggan pertama yang mencicipi cokelat panas racikan sang pemilik kafe.”, lanjutnya sambil tersenyum dan berlalu menuju ke ruangan dalam kafe tempat khusus para pekerja.

Kembali aku terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Kata-kata gamblang dari dirinya, juga dirimu yang seakan tiba-tiba muncul di hadapanku....

Apa boleh kedatangan tiba-tiba tadi aku anggap sesuatu pertanda darimu? Sesuatu pertanda bahwa kamu memang telah rela melepasku, dan kamu pun berharap aku juga rela melepasmu. Sesuatu pertanda bahwa kamu lelah melihatku menjadi perempuan lemah yang selama ini kamu benci. Sesuatu pertanda bahwa kamu ingin melihatku bergerak, berpindah. Sesuatu pertanda bahwa kamu hanya ingin melihatku bahagia.

Bolehkah?

Kusesap secangkir cokelat panas di atas mejaku. Manis. Dengan masih ada sedikit rasa pahit kopi tertinggal di lidah. Mungkin aku memang butuh manis lebih banyak lagi untuk menghilangkan sama sekali rasa pahit ini.

Ya. Mungkin sudah saatnya aku mulai mempunyai kebiasaan baru, memesan secangkir cokelat panas. Secangkir cokelat panas yang dibuatkan khusus untukku.


Taken from: Google

Sunday, July 15, 2012

Sincerity Love.

Aku terdiam. Menatap foto yang terpampang di depan mataku. Rasanya ada sesuatu yang mencekikku dari dalam saat melihat dua subjek bersisian yang ada di dalam foto tersebut. Berkali-kali aku menelaah setiap kemungkinan yang berebutan hadir di pikiranku, hanya untuk sekadar menyangkal kenyataan yang ada.

Aku, yang pikirannya sedang kacau. Sedangkan kamu, duduk di sebelahku, terlihat tidak sabar menunggu komentar keluar dari mulutku.

"Carissa, gimana pendapat kamu?"

"Dia....cantik. Senyumnya manis."

"Dia memang manis. Tapi bukan karena itu aku tertarik sama dia. Dia baik dan lembut sekali. Khasnya perempuan yang keibuan deh. Dia juga perhatian, yang terasa tulus dan tidak dibuat-buat. Baru kali ini aku tertarik sebegininya sama seseorang."

"Kamu...suka sama dia?"

"Ngga. Tapi udah sayang."

....
Aku terkesiap mendengar pengakuanmu yang gamblang barusan. Baru kali ini aku melihat dirimu yang begitu tegas dan yakin akan kata-kata yang kau ucapkan. Matamu juga menyiratkan kesungguhan yang dalam saat menyatakan hal itu.

Sakit.
Kenapa udara di sekeliling terasa hilang? Membuat dada sesak.

"Car, kok bengong? Car? WOI!"

"Eh sorry, Lex."

"Gimana sih. Aku lagi cerita, kamu malah bengong. Jadi gimana menurut kamu? Should I go for her or not? Because I don't think she's interested with me like I am."

"Alex, kalau kamu memang yakin, kejarlah. Man gotta do what a man gotta do. Jangan hiraukan prasangka buruk yang ada. Jujurlah, tunjukkan saja cintamu sama dia. Karena kalau aku lihat dari foto ini, ada chemistry di antara kalian berdua. Rasanya....dia juga tertarik sama kamu....."

"Whoa, yang bener, Car?! That's what I want to hear now! Aku memang butuh dukungan dari orang terdekat, dan aku yakin kalau kamu orang yang tepat. Dukung aku dengan support dan doamu yang biasanya manjur itu ya! Hehe. You are truly my best friend, Car. Thank you!"

Kamu tiba-tiba memelukku dengan bersahabat. Sudah biasa aku merasakan pelukanmu, tetapi entah kenapa kali ini berbeda. Aku gemetar. Rasanya sudah tidak tahan. Kelenjar air mataku membuncah. Aku menangis tanpa suara. Menangisi perasaan di dalam yang aku tahu tidak akan pernah bisa dibebaskan.
Perasaan yang sepenuhnya akan dipenjarakan demi menjaga yang sudah ada. Demi senyum di wajah seseorang yang sangat berarti.

Aku, yang rela melakukan apa saja. Rela menukar apa saja. Hanya untuk kebahagiaan diberikan.

Sunday, June 17, 2012

Tidak Bersyarat.

"...So, how's life?"
"Hm? Yah, begini-begini saja. Standard. Mengalir."
"....."

Ya, di sinilah aku. Duduk di sebelahmu, mencoba membuka percakapan dari membicarakan topik penting hingga kembali bertanya pertanyaan paling basi saking tidak tahu lagi harus berbicara apa.
Sedangkan kamu, hanya menjawab ala kadarnya sambil fokus menatap jalanan di depan karena sedang mengendalikan kemudi mobil.
Di sinilah kita. Duduk bersisian, seperti biasa. Dibatasi oleh kesunyian, hanya diiringi oleh suara musik yang terdengar sayup-sayup di dalam mobil.

Tidak ada yang berbicara.
Entah karena aku yang memang tidak suka berbicara karena tidak pandai dalam berkata-kata, atau karena kamu yang malas memulai pembicaraan.

Aku pun memandang keluar kaca jendela. Mencoba menelaah kejadian-kejadian di luar, tapi nyatanya pikiranku sedang terbang ke arah lain.
Pikiranku terbang ke subjek yang duduk di sebelahku. Ya, kamu.

Kamu yang belakangan ini selalu menyita pikiranku. Bayanganmu seakan memonopoli hari-hariku.
Entah kenapa bisa. Aku pun tidak tahu.
Keningku pun seketika berkerut. Saking kerasnya aku berpikir, mencari alasan-alasan mengapa hal ini bisa terjadi.
Kita yang selalu seperti ini. Saling diam jika berdua saja. Tidak seperti jika kamu sedang bersama yang lain-lain, dimana pembicaraan seakan tidak ada ujungnya, terasa ramai. Dimana aku selalu hanya bisa menimpali dengan tawa, dan tersenyum melihatmu yang begitu lepas.

Kamu dan aku?
Selalu sepi.

Tetapi apa daya. Aku merasa nyaman dengan sepi ini. Tidak perlu kamu mengajakku berbicara, tertawa, seperti kamu mengajak yang lain.
Cukup dengan sepi ini. Aku merasa cukup.
Mungkin aku sudah sayang. Terlanjur jatuh kepadamu.

Aku pun menghela nafas. Berat rasanya hati ini mengakui itu. Aku tahu ini salah. Rasa ini tidak akan pernah berhasil. Berkali-kali aku terjun ke pengalaman seperti ini, dan selalu berakhir buruk. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa rasa cinta yang tumbuh di antara dua sahabat hanya akan menghancurkan tali persahabatan itu sendiri. Tali ini sudah terlalu indah. Dan aku tidak mau merusak itu hanya karena ingin membuat tali ini menjadi sempurna. Karena tidak ada hal di dunia yang sempurna bukan?

Perlahan aku melepas pandangan dari jalanan luar, dan menatapmu diam-diam. Ya, bahkan untuk menatapmu lekat saja aku tidak berani. Aku pun memejamkan mata, mencoba menenangkan gemuruh di dada ini. Melihat wajahmu saja sudah membuat jantung ini berdetak kencang tak karuan. Seketika tanganku refleks memperbesar suara musik yang dari tadi hanya terdengar sayup-sayup. Aku terlalu takut detak kencang jantung ini terdengar olehmu.

"Please don't stand so close to me, I'm having trouble breathing.
I'm afraid of what you'll see, right now.
I'll give you everything I am.
All my broken heartbeats until I know you'll understand."

Lagu ini...melodi yang mengalun ditambah liriknya yang terdengar jelas, seakan mendukung apa yang sedang aku tahan di dalam sini. Pertahananku pun runtuh sudah. Mata ini terasa basah, tetapi dengan cepat aku seka dan tahan sekuat mungkin sebelum kamu melihat. Kembali aku memejamkan mata. Untuk meredam emosi yang seakan bisa meledak kapanpun.

"Eh, Carissa. malah tidur. Sudah sampai di rumah kamu nih."
Aku refleks membuka mata mendengar suara indah yang menginterupsi sepi ini. "Hehe aku ngantuk, Lex. Thanks ya. Kamu jadi repot nganterin jauh-jauh ke rumah."
"Dasar. Aku jadi berasa supir. It's ok. Aku juga ga bisa biarinin kamu pulang sendiri selarut ini kan."
Akupun hanya membalas dengan senyum. Sepertinya ini salah satu faktor kenapa aku bisa jatuh kepadamu. Kamu yang baik. Selalu baik.
"Hati-hati di jalan. Kabari aku kalau sudah sampai." pintaku dengan sungguh-sungguh.
"Iya. tenang aja sih, Sa. Aku pulang ya. Bye."

Sayup-sayup masih terdengar lagu dari kaca jendela mobilmu yang terbuka.

"And I will make sure to keep my distance
Say "I love you" when you're not listening
And how long can we keep this up, up, up?"

Akupun hanya bisa tersentum getir sambil memandangi mobilmu yang sedang berlalu pergi.
Mungkin memang aku jatuh cinta di waktu yang salah. Tetapi aku tidak pernah bisa menyalahkan apa yang kurasakan ini. Di sisi lain, rasa ini terasa benar.
Biar aku menyimpan rasa ini diam-diam. Tidak usah diucapkan karena memang tidak perlu.
Sambil berharap, semoga, rasa ini akan menghilang dengan sendirinya. Walaupun memakan waktu yang lama.

Aku hanya perlu sepi di antara aku dan kamu. Karena itu saja, sudah cukup.

-----


*Lyrics taken from : "Distance" by Christina Perri