Friday, September 14, 2012

Bittersweet Symphony---side B


Ah, akhirnya aku melihatmu datang lagi. Seperti biasa, dirimu langsung menuju ke tempat favoritmu. Di kursi, pojokan, membelakangi speaker kecil di kafe ini. Sudah beberapa bulan ini aku memperhatikanmu melakukan hal yang sama setiap kamu mengunjungi tempat ini. Duduk di kursi yang itu-itu lagi, memesan kopi Mandailing dalam French press, lalu bersendau gurau dengan pria yang selalu menemani duduk di hadapanmu. Hampir setiap hari. Maka dari itu, rasanya ada yang aneh sudah seminggu ini tidak melihatmu ada seperti biasa. Seperti ada yang hilang. Aku rindu melihatmu, mungkin.

Dan ada yang lebih aneh dari itu. Kali ini, kamu datang sendirian. Setelah satu minggu menghilang.
Bagaimana bisa hal yang sudah dilakukan selama berbulan-bulan tiba-tiba saja berubah? Sebut aku orang yang sok tahu, tapi aku tahu kamu bukan orang yang mudah melenceng dari jalur yang sudah biasa kamu jalani.

Aku kembali memandangimu. Menu yang kamu pesan masih sama. Kopi Mandaling di dalam French press tanpa gula sama sekali. Kulihat kamu menyesap cairan hitam pekat itu secara perlahan, memejamkan mata untuk menikmati rasa pahit adiktif di setiap tetesan yang kamu minum. Inilah salah satu alasan mengapa aku senang memperhatikanmu. Caramu menikmati segala sesuatu yang menyentuh indera perasa dan pendengaranmu, entah mengapa membiusku. Bahkan tidak jarang aku mendapatimu tersenyum, memejamkan mata lalu menggerakan kepala dan tangan sesuai irama tiap mendengar lantunan musik kesukaanmu terdengar mengalun di belakang telingamu. Hanya melihatmu seperti itu saja sudah bisa membuatku merasa damai. Ternyata masih ada manusia yang menghargai sesuatu sekecil apapun itu.

Tetapi kali ini aku tidak merasa senang. Ada yang berbeda hari ini. Kamu tidak lagi menganggap hal-hal kecil itu sebagai sesuatu hal yang sakral. Kamu memang menikmati rasa kopi yang sedang kamu minum sekarang, tetapi aku bisa melihat pandanganmu yang kosong. Dan, mana gerakan kecil kepala dan tanganmu saat mendengar lantunan lagu kesukaanmu? Mana senandung merdu yang biasa keluar dari mulutmu? Padahal aku sudah sengaja membuat satu playlist khusus berisi lagu-lagu kesukaanmu agar bisa kumainkan tiap kamu datang ke kafe ini. John Mayer, itu salah satu musisi kesukaanmu, bukan? Mengapa kamu hanya diam saja? Mengapa tidak terlihat reaksi sedikitpun? Kamu hanya terus-terusan menenggak kopi itu.

Tiba-tiba kamu menundukkan kepalamu. Badanmu bergetar tidak karuan. Isakan sayup-sayup terdengar, menggantikan senandung merdu.
Pertanyaan ‘mengapa’ ku pun terjawab. Tapi bukan reaksi seperti ini yang ingin aku lihat.

Kamu menangis. Ada apa?

Kulihat kursi di depanmu yang biasanya terisi, sekarang ini kosong. Sekejap aku pun mengerti apa yang membuatmu menjadi berbeda hari ini.
Sebegitunya kah rasa sakitnya? Sampai kamu terlihat seperti ini.

“Eh lo tahu kan pelanggan kita, yang hampir setiap hari datang ke kafe? Seminggu yang lalu dia kecelakaan di dekat kafe waktu menuju ke sini….”
“Serius? Yang selalu datang sama perempuan yang duduk di pojokan itu kan? Terus gimana tuh?”
“Gue denger sih…saking parah kejadiannya, orangnya ga bisa diselamatkan lagi. Makanya sekarang dia cuma datang sendiri. Kasihan…”

Sekarang aku mengerti. Ternyata memang sebegitunya rasa sakit yang kamu rasa. Hingga membuatku miris melihatmu hancur saat ini.

Mungkin aku harus melakukan sesuatu.

*

“Ini, cokelat panas. Selalu terbukti dapat menenangkan hati dan pikiran. Jangan terus-terusan mengkonsumsi kopi. Sebagai penikmat kopi, seharusnya kamu tahu kandungan kaffein dalam kopi dapat membuat jantung semakin berdebar dan membuat perasaan menjadi tidak stabil.”

Kamu hanya memandangiku kosong, dan sedikit bingung. Jantungku rasanya berdetak jauh lebih kencang saat melihat matamu—di jarak sedekat ini. Bagaimana aku tidak berdebar seperti ini kalau biasanya aku hanya memandangimu dari jauh.

Melihat kamu tetap diam tidak menggubris kata-kataku, aku putuskan untuk melanjutkan pembicaraan kembali. “Sudah lama aku tidak melihatmu datang ke kafe ini……,” aku terdiam sejenak mengumpulkan keberanian untuk melontarkan kata-kata selanjutnya, “dan sudah kuduga, penyebab absennya kamu di tempat ini adalah orang yang biasa duduk di kursi aku duduki sekarang ini, dan sekarang dirinya malah tidak ada.”

Aku melihat dirimu terkesiap mendengar kata-kata gamblangku. Pandangan mata kosong itu berubah seketika menjadi tatapan kaget bercampur marah, sedih, entahlah. Yang pasti aku tahu, aku baru saja menyentil hal paling sensitif yang dari tadi terus kamu simpan rapat-rapat di dalam.

“Maaf, tapi saya tidak suka cokelat. Saya tidak minum minuman manis.” Akhirnya, ada juga kata-kata yang keluar dari mulutmu. Walaupun jelas sekali terdengar ketus. Kalimat penolakan. Dan aku tahu kamu marah.

Terserahlah kamu mau anggap aku orang tidak tahu diri, yang tiba-tiba datang lalu berkata seenaknya padahal tidak mengenalmu sama sekali. Aku tidak peduli. Aku hanya tidak ingin melihatmu dengan keadaan tadi.

“Tetap, kamu minum saja. Gratis kok.” Aku sebenarnya takut kamu marah lalu menyiramku dengan cokelat panas itu. Tapi, aku tahu, aku sudah tidak bisa berhenti di sini.

“Mungkin kamu memang tidak suka minuman manis. Tetapi terkadang kamu harus berani melakukan hal yang tidak kamu sukai demi memulai lembaran baru di dalam hidup. Jangan menimpa sesuatu yang pahit dengan hal yang pahit pula. Pulihkanlah kepahitan dengan sesuatu hal yang manis.”

Aku rasa, ini cukup. Melihat kamu yang hanya terdiam saat ini, membuatku bersyukur cangkir di atas mejamu tidak melayang ke kepalaku. Entah apa yang ada di pikiranmu saat ini. Semoga saja kamu memikirkan perkataanku tadi. Aku hanya bisa tersenyum melihatmu diam. Yah, sudah saatnya aku pergi dari meja ini.

Aku pun bangkit dari kursi ini. Rasanya berat duduk di sini seakan menggantikan orang tersebut.

“Kehilangan itu, memang sakit rasanya. Tapi asal kamu tahu, sakit yang kamu rasa sekarang mungkin sama rasanya dengan yang aku rasakan sewaktu menunggu kehadiranmu yang lama tidak pernah datang di tempat ini. Dan pada akhirnya kamu datang, aku malah harus melihatmu tertekan seperti ini.” Aku hanya tersenyum miris saat mengatakan hal itu. Aku juga perlu melepaskan beban yang aku rasa, kan? Aku menghela napas. Kali ini benar-benar cukup. “Sudahlah, minumlah cokelat ini. Kamu butuh sesuatu yang manis untuk membuatmu tersenyum. Lagipula seharusnya kamu bangga menjadi pelanggan pertama yang mencicipi cokelat panas racikan sang pemilik kafe.”

Aku benar-benar tidak akan mengusikmu lagi. Memandangimu dari jauh seperti biasa saja, itu sudah cukup bagiku. Aku hanya berharap, kamu tidak lagi berantakan seperti tadi. Tidak lagi merasakan beban setiap duduk di kursi favoritmu, minum minuman kesukaanmu, dan mendengar lagu kesayanganmu. Tidak lagi menatap pedih kursi kosong di depanmu. Tidak ada lagi air mata yang jatuh menggantikan cairan hitam pekat di dalam cangkir.

Dan mungkin, suatu saat nanti, jika kamu sudah siap memesan secangkir cokelat panas, aku akan berani duduk di hadapanmu. Melupakan apa yang terjadi pada hari ini, dan memulai sesuatu yang baru.

No comments:

Post a Comment