Thursday, September 6, 2012

Bittersweet Symphony---side A

Aku mendapati diriku kembali duduk di tempat ini.
Di kursi yang sama seperti sebelum-sebelumnya.
Pojok ruangan, meja untuk dua orang, membelakangi kasir dengan speaker tepat di belakang telinga.
Tempat ini juga masih sama.
Jumlah meja dan kursi yang masih statis, lukisan-lukisan terpampang di dinding yang sudah aku hapal letak dan namanya, buku-buku untuk dibaca oleh pelanggan yang sudah semua aku lahap abis, dan para pelayan yang aku ingat betul wajah dan namanya begitupun juga mereka kepadaku.

“Mandailing coffee in french press, without sugar.”
Kupandangi senyum pelayan perempuan yang masih sama ramahnya, menyatakan menu yang akan ia buat.
Ya, bahkan mereka tidak perlu bertanya lagi karena sudah hapal kebiasaanku.
Kubalas ia dengan senyum seadanya di wajahku, sekaligus memberikan tanda padanya untuk segera berlalu menyiapkan pesananku.

Kopi. Hanya itu yang sangat kubutuhkan sekarang.

Sayup-sayup terdengar suara musik mengalun dari speaker di belakang telingaku. Akupun secara otomatis tersenyum mendengarnya. Bahkan musik di tempat ini pun masih sama.
Masih sama dengan saat pertama kali aku menjejakkan kakiku di tempat ini.

Segalanya masih sama. Apa yang berbeda hanyalah, saat ini, kursi di hadapanku, kosong. Tidak ada yang menempati.
Tidak ada kamu. Orang yang mengenalkanku pada tempat ini.
Sesuatu bergemuruh keras di dalam dada saat memandangi kursi kosong tersebut.
1…2…1…2…tarik napas, hembuskan perlahan, ulangi lagi. Aku harus tenang. Toh tujuanku ke sini kan untuk bersantai.

Atau lebih tepatnya, untuk mengisi kekosongan diri dengan tetap melakukan aktifitas yang biasa aku lakukan bersamanya.

“Silahkan, Mandailing coffee-nya. Hati-hati masih panas. Jika memerlukan bantuan, bisa langsung panggil saya atau pelayan lain yang bertugas. Selamat menikmati”. Deretan kalimat dari pelayan perempuan yang tadi melayaniku membuyarkan lamunanku. Untung saja dia cepat datang dengan kopi yang kupesan. Aku sudah bilang kan aku sedang sangat butuh kopi ini?

Kudiamkan beberapa menit kopi di dalam french press di hadapanku. Aku ingat sekali, kamu yang pertama kali mengenalkanku alat ini. Kamu bilang, minum kopi dari alat ini lebih menyenangkan daripada langsung meminum kopi yang sudah tersedia dalam cangkir. Lebih menyenangkan karena setidaknya ada usaha sedikit yang harus kita lakukan sebelum merasakan kenikmatan kopi tersebut. Bahkan kita harus bersabar sedikit, karena kopi di dalam french press tersebut harus didiamkan terlebih dahulu sebelum alatnya menekan ampas kopi di dalam demi hasil rasa kopi yang sempurna.
Aku jadi geli sendiri mengingatnya. Kamu memang seorang pekerja keras, perhitungan, dan perfeksionis. Bahkan untuk minum kopi saja, minimal harus ada prosesinya terlebih dahulu. Tapi inilah yang membuatmu berbeda dari lelaki lain. Dan inilah salah satu alasan yang membuatku terjatuh padamu.

Ah, aku bisa membayangkan muka sinismu yang selalu kau tunjukkan jika aku mulai bersikap mellow seperti perempuan kebanyakan. Ya, kamu memang anti dengan perempuan seperti itu. Salah satu hal lainnya yang membuatmu menjadi sosok lelaki yang berbeda.

Kutekan alat french press ini pelan-pelan, sambil merasakan proses yang terjadi di dalam alat tersebut. Sama persis seperti yang selalu kamu lakukan. Kutuangkan kopi tersebut memenuhi cangkir yang sudah tersedia di atas meja, lalu kusesap kopi itu perlahan.
Kupejamkan mata ini. Menikmati setiap tetesan rasa di lidah. Kusesap lagi, terus-terusan, hingga hampir menghabisi cairan di dalam cangkir ini.

Rasa kopi ini pahit, tetapi adiktif.

Sama seperti kehadiranmu di dalam hidupku. Tidak jarang kamu membuatku susah dengan adanya kamu. Dengan sifatmu yang keras dan perfeksionis. Tetapi aku tetap suka. Karena dengan apa adanya dirimu, aku yang selalu bersifat santai, merasa dilengkapi. Kamu, bagaikan candu bagiku.

Kuminum tetesan terakhir di dalam cangkir hingga bersih.

Tidak. Aku semakin tidak tahan. Rasa kopi ini, suasana kafe yang selalu sama yang aku kira selalu dapat melengkapi, tidak bisa mengisi kekosongan diri karena telah kehilangan kamu. Malahan aku semakin merasa kosong. Semakin merasa kehilangan. Rasa kopi ini, suasana kafe yang selalu sama, tetapi tanpa kehadiranmu, memaksaku menghadapi kenyataan bahwa segalanya tak akan lagi terasa sama. Kamu, tidak akan pernah lagi duduk menikmati kopi di hadapanku. Kamu, tidak akan pernah ada lagi.

Tidak. Aku sudah tidak kuat. Hei kamu, bolehkah sekali ini saja pertahananku runtuh? Sekali ini saja aku ingin seperti perempuan kebanyakan lainnya. Aku sudah tidak kuat menjadi kuat. Rasanya diri sudah ingin meledak, hancur berkeping-keping.

Cairan hitam pekat di dalam cangkir pun berganti dengan tetesan air yang jatuh dari mata ini. Kutundukkan kepalaku. Kukeluarkan semuanya. Rasa kosong, rindu, marah, cinta, kehilangan, semuanya menjadi satu dalam air mata ini. Rasa yang menumpuk sekian lama ini sudah tidak sehat, harus segera dilepaskan seluruhnya.

Sekali lagi, maafkan aku tidak bisa menjadi sekuat yang kamu harapkan.

………

“Ini, cokelat panas. Selalu terbukti dapat menenangkan hati dan pikiran. Jangan terus-terusan mengkonsumsi kopi. Sebagai penikmat kopi, seharusnya kamu tahu kandungan kaffein dalam kopi dapat membuat jantung semakin berdebar dan membuat perasaan menjadi tidak stabil.”

Kupandangi secangkir cokelat di atas meja dengan asap mengebul yang diarahkan ke hadapanku. Kuganti pandanganku ke sosok pemberi minuman tersebut, yang tengah duduk menempati kursi milikmu. Aku kenal dia. Pemilik kafe ini. Beberapa kali aku melihatnya ikut melayani pelanggan. Penampilannya yang lebih rapih dan berbeda dengan pelayan lainnya yang membuatku memutuskan bahwa ialah pemilik kafe.

“Sudah lama aku tidak melihatmu datang ke kafe ini.”, ucapnya saat aku hanya memandangi wajahnya. “Dan sudah kuduga, penyebab absennya kamu di tempat ini adalah orang yang biasa duduk di kursi aku duduki sekarang ini, dan sekarang dirinya malah tidak ada.”

Perlukah dirinya mengkonfirmasi hal nyata tersebut? Tidak perlu ia memberitahu lagi sesuatu yang sudah aku ketahui. Aku tidak suka. Rasanya seperti dibenturkan berkali-kali kepada kenyataan yang pahit.

“Maaf, tapi saya tidak suka cokelat. Saya tidak minum minuman manis.”, jawabku dengan sedikit ketus sekaligus ingin memberikan pertanda bahwa aku tidak suka ia duduk di hadapanku, di kursi tempat dirimu biasa berada. Walaupun ia pemilik kafe, seharusnya ia tetap tidak boleh mengusik privasi pelanggannya.

“Tetap, kamu minum saja. Gratis kok.”, didorongnya secangkir cokelat tersebut semakin dekat ke hadapanku. Ia seakan tidak peduli dengan sikapku yang bersikap tidak ramah padanya.

“Mungkin kamu memang tidak suka minuman manis. Tetapi terkadang kamu harus berani melakukan hal yang tidak kamu sukai demi memulai lembaran baru di dalam hidup. Jangan menimpa sesuatu yang pahit dengan hal yang pahit pula. Pulihkanlah kepahitan dengan sesuatu hal yang manis.”

Akupun terdiam mendengar rentetan kata yang keluar dari mulutnya. Kalau kata-kata bisa berubah menjadi pisau, mungkin tubuhku sekarang ini sudah berdarah-darah dirajami oleh kata-kata yang menghujam tersebut.
Aku hanya terdiam, tidak bisa berkata-kata.

Melihatku yang hanya terdiam seribu bahasa, ia pun tersenyum lalu bangkit dari tempat duduk milikmu. Kaget. Senyum itu mengingatkanku akan senyummu yang sebelumnya tidak pernah absen dalam hari-hariku. Aku seakan melihat dirimu lah yang hadir di hadapanku.

“Kehilangan itu, memang sakit rasanya. Tapi asal kamu tahu, sakit yang kamu rasa sekarang mungkin sama rasanya dengan yang aku rasakan sewaktu menunggu kehadiranmu yang lama tidak pernah datang di tempat ini. Dan pada akhirnya kamu datang, aku malah harus melihatmu tertekan seperti ini.” Kulihat senyum di wajahnya yang sedikit miris, sambil berusaha mencerna kata-kata yang ia ucapkan.

“Sudahlah, minumlah cokelat ini. Kamu butuh sesuatu yang manis untuk membuatmu tersenyum. Lagipula seharusnya kamu bangga menjadi pelanggan pertama yang mencicipi cokelat panas racikan sang pemilik kafe.”, lanjutnya sambil tersenyum dan berlalu menuju ke ruangan dalam kafe tempat khusus para pekerja.

Kembali aku terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Kata-kata gamblang dari dirinya, juga dirimu yang seakan tiba-tiba muncul di hadapanku....

Apa boleh kedatangan tiba-tiba tadi aku anggap sesuatu pertanda darimu? Sesuatu pertanda bahwa kamu memang telah rela melepasku, dan kamu pun berharap aku juga rela melepasmu. Sesuatu pertanda bahwa kamu lelah melihatku menjadi perempuan lemah yang selama ini kamu benci. Sesuatu pertanda bahwa kamu ingin melihatku bergerak, berpindah. Sesuatu pertanda bahwa kamu hanya ingin melihatku bahagia.

Bolehkah?

Kusesap secangkir cokelat panas di atas mejaku. Manis. Dengan masih ada sedikit rasa pahit kopi tertinggal di lidah. Mungkin aku memang butuh manis lebih banyak lagi untuk menghilangkan sama sekali rasa pahit ini.

Ya. Mungkin sudah saatnya aku mulai mempunyai kebiasaan baru, memesan secangkir cokelat panas. Secangkir cokelat panas yang dibuatkan khusus untukku.


Taken from: Google

No comments:

Post a Comment